Film “Homebound” termasuk salah satu dari sekian film yang mengisahkan kehidupan buruh migran Indonesia di negara penempatannya. Film produksi Two Island Digital ini menghadirkan Tari, yang telah bekerja lebih dari 10 tahun di Taiwan terpaksa tidak bisa bertemu putranya di Indonesia karena pandemi Covid-19.
Sebagai sutradara Homebound, Ismail Fahmi Lubis mengungkapkan bahwa film ini lebih memfokuskan pada dampak Covid-19 terhadap pekerja migran. Menurutnya, mereka terjebak dalam negara yang kehabisan bahan baku untuk bertahan, sehingga buruh migran tidak bisa pulang.
“Apabila mereka tidak bisa pulang, kemungkinan dana habis. Akhirnya kontrak buruh migran akan diputar terus menerus sampai situasinya membaik, baru mereka bisa keluar. Pihak Indonesia pasti tidak bisa berbuat apa pun, karena masalah ini bukan teritorialnya,” ujar Ismail dalam pemutaran film “Homebound” dan diskusi “Asa Pekerja Migran Dalam Perlindungan Semu” pada Kamis (18/03/2022).
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UNAIR juga mengundang Nick Calpakdjian selaku produser “Homebound”, Ketua Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI) Wiwin Rarsiating bersama Peneliti Isu Media dan Migrasi Irfan Wahyudi. Kegiatan tersebut diadakan di ruang Alexa FISIP dan melalui Zoom.
Sebelumnya, Nick mengaku bahwa “Homebound” tidak direncanakan menjadi film animasi. Namun, melihat ilustrasi dan bentuk animasi, serta karakter Tari yang sederhana membuat “Homebound” lebih menarik. Kombinasi gaya dokumenter dan alur cerita yang bagus tetap menyampaikan pesan yang sangat kuat.
“Ketika kami bertemu Tari dan mulai syuting dengannya, kami menyadari bahwa, Tari merupakan karakter yang cocok untuk mencakup berbagai pengalaman pekerja migran. Kami beruntung, rumah sakit (tempat bekerja, red) Tari mengizinkan tim masuk ke dalam. Kehidupan Tari telah mencakup sebagian besar pengalaman pekerja migran,” jelasnya.
Wiwin membenarkan, “Homebound” menggambarkan satu dari sekian kehidupan buruh migran yang menjadi asisten rumah tangga, petani, buruh pabrik, dan perawat lansia. Selama meningkatnya buruh migran selalu muncul kasus seperti dalam “Homebound”, seperti potongan agen, penahanan dokumen, ketidaklayakan dalam kerja, akomodasi, jam kerja, kriminal, deportasi hingga menjadi korban perdagangan orang.
“Buruh migran bekerja secara 3D, yaitu dirty, dangers, dan dehuman. Tidak semua negara memiliki perlindungan, terutama dalam kondisi pasca-covid yang mengakibatkan dua kali pekerjaannya. Mereka bisa bersih-bersih 5 kali sehari dan melibatkan barang-barang berbahaya, masker dan hand sanitizer beli sendiri,” terang Wiwin.
Pada akhir acara, Irfan Wahyudi berpesan agar “Homebound” bukan sekedar film yang ditonton, melainkan diapresiasi, kemudian menjadi diskusi di ruang publik. Tidak hanya menambah literasi saat dibawa ke pemutaran seperti ini, “Homebound” menyadarkan orang-orang yang selama ini mengetahui setelah viral, bahwa buruh migran hanya dinilai dari uangnya.