Berawal dari Keluarga – Catatan Menyimak ‘Golden Memories: petite histoire of indonesian cinema’

Sejarah Sinema Indonesia bukan hanya berhubungan dengan nama-nama besar di belakangnya. Orang-orang yang paham teknik pengoperasian kamera, proyektor dan perangkat lainnya pada masa lalu, kemudian menghasilkan karya yang personal berupa keseharian juga patut kita kenal. Hal inilah yang coba disampaikan oleh dokumenter perdana produksi Milisifilem (yang juga menjadi film panjang ke-10 Forum Lenteng) yang berjudul “Golden Memories: petite histoire of indonesian cinema“, bahwa sinema keluarga juga tidak bisa dipisahkan dengan perkembangan sinema di negeri ini.

Tiga pembuat film (atau dengan unik disebut tim realisasi); Mahardika Yudha, Afrian Purnama dan Syaiful Anwar pada awalnya melakukan penelitian dengan tajuk Sejarah Kecil Sinema Indonesia yang dimulai sejak awal 2016. Penelitian tersebut mengantarkan mereka pada Rusdy Attamimi, seorang pilot yang tinggal di Pondok Indah yang gemar merekam pengalamannya dengan kamera 8mm. Di dalam film “Golden Memories” terlihat beliau menunjukkan peralatan kegemarannya tersebut yang masih terawat dengan rapi serta bercerita tentang karya-karya beserta latar belakangnya. Ia aktif melakukan hobinya tersebut sejak tahun 1960-an.

Penelitian ini juga mengantarkan para tim realisasi pada tokoh pertama Sinema Keluarga Indonesia, yaitu Kwee Zwan Liang, seorang kepala laboratorium pabrik gula besar di Djatipiring yang dimiliki oleh keluarga besar Kwee. Menurut Mahardika Yudha, seperti dikutip dalam katalog film “Golden Memories”, beliau dipilih karena beliaulah satu-satunya yang tinggal dan besar di Indonesia dan telah menekuni Sinema Keluarga lebih dari sepuluh tahun (sejak 1927) serta memiliki lebih dari 12 jam rekaman. Selain tentang keluarganya, rekaman-rekaman tersebut juga terdiri dari gambaran masa lalu berbagai daerah Indonesia, seperti Medan, Malang, Cirebon, Jakarta, Surabaya, Bali hingga Garut. Karya-karya beliau juga dinilai memiliki kekuatan teknis yang tinggi. Para tim realisasi lantas pergi ke Den Haag, Belanda demi mengunjungi anak-anak Kwee Zwan Liang, antara lain Kwee Kiem Han, Kwee Kiem King, Evie Kurniawati serta cucunya Christina Murwindah. Di dalam film dokumenter ini terlihat Kwee Kiem Han menunjukkan kamera pertama yang digunakan mendiang Ayahnya untuk merekam pengalaman mereka, yaitu kamera Cine Kodak model B yang legendaris. Masih tersimpan rapi dan konon masih bisa dioperasikan. Mereka lantas menonton bersama karya-karya Kwee Zwan Liang yang telah didigitalisasi (sementara kopi film aslinya tersimpan di badan film EYE Filmmuseum Amsterdam).

Dari Jakarta ke Amsterdam, lalu Den Haag ke Djatipiring, begitulah perjalanan pembuatan film dokumenter ini selama dua tahun. Selain bertemu langsung dengan tokoh utama maupun keluarganya, tim realisasi juga menelusuri tempat sejarah-sejarah tersebut direkam. Termasuk mengunjungi bekas pabrik gula tersebut, bertemu dengan kepala desa, hingga berinteraksi dengan jenaka dengan pedagang kamera.

Bagi Afrian Purnama, seperti dikutip dari katalog film, ia merasakan sensasi yang sulit untuk digambarkan antara menyaksikan anak-anak Kwee Zwan Liang mengenali diri mereka sendiri ketika menonton kembali video mereka semasa kecil dengan melihat diri mereka secara langsung saat itu, tujuh puluh tahun kemudian, di ruang yang sama. “…bagi kami, pengalaman tersebut seakan melintasi ruang dan waktu karena representasi dari gambar di televisi berbaur dengan realita yang ada di ruang tempat kami bersama menonton film,” ujarnya. Sama halnya dengan sensasi ketika menyaksikan Rusdy Attamimi memutar film-filmnya yang bisu. Hanya suaranyalah yang terdengar penuh kenang menemani ritme reel film dari proyektor.

Sementara menurut Mahardika Yudha ketika membicarakan film-film Kwee Zwan Liang, apa yang ditampilkan beliau berbeda dengan karya pesanan yang dihasilkan oleh sutradara Belanda yang profesional, di mana gambaran yang presentasikan berjarak dengan subjek dan objek, formal dan konstruktif. Berbeda pula dengan film karya sutradara bumiputra yang beredar di bioskop komersil, di mana sulit menemukan pengambilan gambar dengan jarak dekat dengan objek atas alasan biaya produksi. “Ketika menonton film sinema keluarga, bekal representasi kita seakan dilepas begitu saja dengan sukarela. Kita telah menerima keadaan bahwa kita akan menyaksikan sebuah film perjalanan sebuah keluarga yang tidak butuh dikonstruksikan atau merepresentasikan sesuatu di luar peristiwa keluarga itu sendiri,” paparnya.

Setelah menonton dokumenter ini selintas saya berpikir, bukankah semua pembuat film, termasuk yang hebat-hebat itu berawal dari ‘keluarga’? Jika tidak dalam hal teknis, mungkin dari gagasan yang dituangkan. Dengan demikian, sinema keluarga bukanlah bagian kecil dari sejarah sinema. Tapi ibu dari sinema.

Masuki era baru filmdokumenter.id. Pelajari fitur terbaru kami di sini.