Cahaya kuning matahari menyirami padi yang mengelilingi gazebo di Mana Earthly Paradise, Ubud. Di sana, kolaborasi Minikino dan Ubud Writers & Readers Festival tahun ini berbentuk apresiasi film pendek dengan tajuk Sinema Sejuta Kata. Program yang dilaksanakan pada hari Sabtu 29 Oktober ini, mengajak remaja melintas bidang visual dan menuangkannya dalam puisi-puisi bebas. Film pendek yang dipilih oleh Minikino adalah Salmiyah (2019) karya sutradara Harryaldi Kurniawan & produser Wulan Putri.
Salmiyah dipilih oleh direktur program Minikino, Fransiska Prihadi, karena film yang mendapat penghargaan jury special mention dalam kompetisi nasional Minikino Film Week 2021 ini merupakan film pendek dokumenter eksperimental yang berhasil mengeksplorasi kepingan ingatan, persepsi para aktor sejarah, peminat sejarah, dan penonton sekaligus. Siska Olie sebagai perwakilan dari Minikino juga menyampaikan dalam pembukaannya jika film Salmiyah ini adalah karya audio-visual yang baik untuk dicermati baik audio dan juga visualnya sekaligus. Fokus dan tidak mencatat selama menonton disarankan Olie karena film pendek seperti Salmiyah ini adalah film yang padat.
Sinema Sejuta Kata sendiri sebetulnya adalah lomba, namun Made Adnyana Ole sebagai juri tidak ingin membuat program ini terkesan menjadi lomba yang kaku. Terlebih, kondisi lokasi pemutaran tidak memenuhi standar kualitas pemutaran karya audio-visual karena terlalu terang dan tanpa peralatan speaker yang memadai. Untunglah program ini terselamatkan oleh diskusi karya yang dipandu oleh Ole. Delapan peserta yang hadir didorong agar dapat saling berdiskusi tentang puisi yang telah ditulis.
Menurut Ole, alih wahana ini adalah salah satu proses yang bisa merangsang kreativitas. Seperti dikatakan Ole, “Film sebagai karya audio-visual bisa juga merangsang memori di masa lalu. Sehingga merespons film menjadi puisi bukanlah sekedar merangkum apa yang disaksikan.” Selain itu, program seperti ini juga mengajarkan kita menonton dengan serius sekaligus menonton dengan hati.
Puisi-puisi yang ditulis setelah menonton Salmiyah hadir dalam bentuk dan tema yang beragam. Mulai dari tema tentang perempuan, buruh, kolonialisme dan sejarah. Setelah puisi didiskusikan, dari total 8 peserta yang ikut menonton dan membuat puisi setelahnya. Dewi Jane Green, Sasti Gotama, dan Bimo Arsa keluar sebagai nama dengan puisi yang paling kuat di antara peserta lainnya. Berikut adalah puisi yang mereka tulis:
Today I will sit in a room full of women
Sucking on cigarettes
and I will wonder if its bitterI will wonder if the sweat
from the women in the hollow factories before them
from their callused fingers, rubbed with yellow,
stuck on the butt of those cigarettes
taste as bitter as they do decades beforeI will wonder if the smoke
taste as dirty as the men, as dirty as the planks of wood,
which those women used to sleep on,
and I will wonder if those women,
coolies, slaves,
would have rather slept in a coffin
than in a bed with a man from a country faraway,
that they know as much about
as their own bodiesI will wonder why those women were treated like creatures in a petting zoo
when their colonizers would act like rabid, savage animals, owning them.Today, I will sit in a room full of women
Sucking on cigarettes
and I will wonder if I
should feel bitter.(by: Dewi Jane Green)
Riuh di Kepala Salmiah
Kamu diam
tapi kepalamu gelombang
tak ada imigran dari matamu
yang mencari suaka di pipi keriputmu
Isi kepalamu bukan tembok yang kau sebut hari ini
tapi lembar tembakau yang diiris tipis
aroma keringat yang saling tertukar antar tubuh yang miring ke kiri
lengang dinding tua berjamur di Deli,
dan telapak-telapak mungil yang turun di Belawan tanpa alas kakiKamu diam
tapi kepalamu topan
tentang kamar-kamar bergorden yang menutup desah keringat
tuan dan babu yang bergumul diburu waktu.
Juga gelar nyai untuk buyutmu yang kau kenang beraroma melatiKamu diam
tapi kepalamu halilintar
Paneluh tan ana wani
guna duduk pansirno.
Jika diam tak akan ada ala
Jika diam tak akan ada bala
lalu untuk apa suara.
Salmiah, maka kamu pun diamUbud, 29 Okt 2022
Sasti Gotama
Agaknya, hidup itu tentang lupa.
Mungkin, harus lupa agar hidup.
Lupa luka, lupa duka.
Lupa semua yang bukan kita.Kita seenaknya menaruh cerita di meja depan
meninggalkannya di terik dan hujan
hingga tak berbentuk, lalu hilang.
Tidak menarik, lalu dibuang.Atau lebih baik begitu?
Bukankah cerita hanya akan utuh dalam keterasingan?
Tanpa pemaknaan yang egois,
juga penghakiman yang narsis.
Tanpa ada huruf yang tersisih
—tak lolos seleksi.Mungkin dengan begitu,
mereka akan ada di tempat yang lebih indah.
Barangkali di suatu laci di antara bintang-bintang,
dibaca oleh malaikat yang sebenarnya peduli.Dan kita bisa tetap lupa,
agar kita bisa tetap hidup
semaunya—seperti biasanya.ARSA, 29/10/2022