Perkenalan dengan Distra Budaya
Awal perkenalan Wahyu Utami dengan Distra Budaya terjadi saat dia melihat pementasannya di panggung terbuka Festival Kesenian Yogyakarta 2014. Wahyu Utami langsung terkesima dengan pementasan kelompok Distra Budaya, walaupun pementasannya cukup sederhana, tapi baginya pementasan tersebut luar biasa.
Pementasan tersebut membuatnya mempertanyakan banyak hal, salah satunya bagaimana cara mereka berproses untuk mempersiapkan pementasan? Ada satu adegan yang cukup melekat di ingatan Wahyu Utami, yaitu di mana mereka menggunakan ketidakmampuan mereka dalam melihat sebagai materi guyon pada pementasan tersebut. Bagi Wahyu Utami, ketika seseorang sudah bisa menertawakan diri mereka sendiri, hal itu merupakan pencapaian yang luar biasa sebagai manusia.
Rasa penasaran menggerakan Wahyu Utami untuk berkenalan lebih jauh dengan kelompok Distra Budaya, sehingga pada akhir tahun 2016, dia menyampaikan keinginannya untuk ikut berproses dengan mereka dan hal ini disambut baik oleh anggota Distra Budaya. Wahyu Utami diizinkan untuk ikut hadir pada setiap latihan mereka.
Selama hampir satu tahun, Wahyu Utami selalu datang pada saat latihan. Latihan diadakan satu bulan sekali di ruang perpustakaan Yayasan Mardi Wuto dalam kompleks Rumah Sakit Mata dr. Yap. Wahyu Utami tidak tumbuh di lingkungan yang memiliki kedekatan dengan teman-teman disabilitas, sehingga di awal proses, dia cukup kebingungan tentang bagaimana cara berkomunikasi yang baik dengan anggota Distra Budaya. Proses terberatnya adalah tahap di mana dirinya harus membongkar paradigma yang menempel kuat pada pikirannya tentang disabilitas.
Pada umumnya, pengetahuan tentang disabilitas hanya diperoleh dari media dan kata-kata orang lain, yang seringkali hanya membicarakan tentang ketidakmampuan, keterbatasan, kasihan, dan lain-lain. Tanpa sadar, hal tersebut ternyata mempengaruhi cara pandangnya dalam melihat teman-teman disabilitas. Sebagai filmmaker, Wahyu Utami mempertanyakan bagaimana dia bisa menyampaikan cerita tentang kesetaraan, apabila dia sendiri belum memandang mereka secara setara? Untuk itu, dia berusaha masuk ke dalam dirinya dan membongkar cara pandang, stigma, dan bias yang tanpa sadar melekat pada pikirannya. Proses membongkar paradigma yang ada dalam pikirannya itu menjadi proses yang cukup berat.
Pada tahun 2017, Wahyu Utami baru berani mengikuti program fasilitasi perfilman yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan Yogyakarta. Dia berhasil lolos dan mendapatkan dana hibah untuk produksi film yang dilakukan selama tiga bulan. Proses pembuatan film dokumenter dilakukan dengan pendekatan observasional.
Walaupun dia sudah mendapat izin dari anggota Distra Budaya untuk memfilmkan, tetapi dia selalu memberitahu setiap kali akan merekam. Selain itu, dalam pengambilan gambar, dia menghindari menggunakan gambar-gambar close-up pada wajah. Hal ini dikarenakan dia tidak ingin memberikan penekanan terkait disabilitas mereka. Dia ingin penonton lebih fokus pada peristiwa relasi subjek dengan sekitarnya.
Latar Belakang Film
Saat pemutaran perdana, Wahyu Utami mengundang anggota Distra Budaya untuk hadir. Hal ini merupakan pengalaman baru bagi teman-teman Distra Budaya, dan mungkin juga pengalaman baru bagi sebagian besar penonton yang hadir pada malam tersebut, yaitu menonton film bersama disabilitas netra. Dari awal pembuatan film, dia menyadari bahwa film yang dia buat, memang untuk ditonton oleh teman-teman Distra Budaya.
Dia sangat bahagia ketika melihat teman-teman Distra Budaya ikut tertawa saat adegan-adegan lucu selama “mendengar” film The Unseen Words. Mereka juga ikut tepuk tangan setelah film selesai, pulang dengan ekspresi bahagia, perasaan bangga, dan merasa ada. Melalui film ini masyarakat luas bisa melihat proses dari teman-teman Distra Budaya. Bahwa mereka sangat terbuka untuk kolaborasi, karena mereka merasa membutuhkan jaringan yang lebih luas, dan melalui fim ini beberapa jaringan tambahan akhirnya diraih.
Dampak Pasca Rilis
Wahyu Utami mengaku bahwa tidak ada ekspektasi yang terlalu besar atas film ini, tetapi ketika film di-release, apresiasi penonton sangat baik. Festival Film Indonesia 2017 memilih The Unseen Words sebagai film dokumenter terbaik. Dari situ kemudian berita terkait keberadaan Distra Budaya terdengar oleh salah satu produser program acara Kick Andy di Metro TV. Akhirnya anggota kelompok Distra Budaya diundang menjadi narasumber di acara Kick Andy dan mendapatkan dukungan dana untuk mengembangkan Distra Budaya. Dana tersebut digunakan untuk membeli alat musik, kostum ketoprak, dan sisanya disimpan sebagai kas.
The Unseen Words juga diputar pada beberapa festival film seperti NETPAC – Jogja Asian Film Festival dan Festival Film Dokumenter. Film tersebut juga diundang di beberapa acara pemutaran dan diskusi yang diadakan di berbagai komunitas film, baik independen ataupun universitas di berbagai daerah. Beberapa di antaranya seperti di Pusat Layanan Difabel Universitas Islam Negeri Yogyakarta, Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Unit Kegiatan Mahasiswa Universitas Jambi, Aceh Film Festival 2017, Festival Merdeka Solo, Dinas Kebudayaan Kediri dan Sineroom Semarang.
Selama periode pemutaran tersebut, berbagai media datang untuk meliput soal Distra Budaya dan beberapa mahasiswa serta akademisi mendatangi kelompok Distra Budaya untuk melakukan penelitian. Dari banyak pemutaran film ini, ada satu peristiwa yang paling mengesankan, yaitu saat sesi tanya jawab setelah pemutaran di Festival Film Dokumenter 2017. Salah satu penonton disabilitas daksa bernama Yovin, menyampaikan apresiasinya, dia bercerita bahwa setelah menonton film ini dia menjadi lebih percaya diri. Selain itu, saat diputar di Semarang, para teman-teman disabilitas netra jadi tergerak untuk berkesenian lagi.
Pada tahun 2018, ruangan latihan Distra Budaya diubah menjadi ruang pemeriksaan RS Mata Dr. Yap. Lalu kesekretariatan Yayasan Mardi Wuto pindah ke kawasan ruko dr. Yap, sehingga saat ini kelompok Distra Budaya menggunakan sebuah rumah pribadi sebagai tempat berkumpul.
Selama pandemi, Distra Budaya sempat vakum, namun sekarang kegiatan bersama sudah dimulai lagi. Tahun ini Distra Budaya berniat akan membuat legalitas perkumpulan supaya bisa mengakses dana-dana pengembangan kebudayaan dari pemerintah.