Cerita di Balik Layar: Tangis dan Usaha ‘Berdarah-darah’ di Balik “Invisible Hopes”

Screenshot film Invisible Hopes

Suasana sebuah penjara di Semarang masih terekam jelas dalam benak Lamtiar Simorangkir, meski sudah tiga tahun berlalu. Kala itu pada 2018, ia tengah riset untuk sebuah proyek film.

Ide dari film yang nantinya akan bertajuk “Invisible Hopes” tersebut datang setelah pada 2017, seorang aktivis anak mengisahkan sebuah cerita bahwa banyak anak-anak lahir dan dibesarkan dalam penjara.

Anak-anak tersebut terpaksa hidup dalam penjara lantaran ibu mereka adalah narapidana. Tak pernah terpikir dalam benak Lamtiar yang memang fokus pada isu anak dan perempuan hal itu terjadi dalam dunia nyata.

“Saya sama sekali tidak tahu kok ada anak yang lahir dan dibesarkan di dalam penjara seperti narapidana. Saya pikir kalau ibu hamil ditangkap akan mendapat penangguhan atau bagaimana,” kata Lamtiar kala berbincang dengan CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.

Sama seperti dirinya, tak ada kenalannya yang mengetahui perihal tersebut. Pencarian melalui literatur pun menyatakan hal serupa. Akhirnya, ia merasa bahwa topik tersebut cukup menarik untuk dijadikan film karena belum pernah ada sebelumnya.

“Tapi memang selain itu saya berpikir juga bahwa saya merasa itu tidak adil, ada anak yang lahir dan dibesarkan di penjara,” kata Lamtiar.

“Karena terus terang saya sendiri berasal dari keluarga yang cukup sederhana, tidak juga miskin, tapi saya bisa mengatakan masa kecil saya bahagia karena saya hidup bebas,” lanjutnya.

Di sebuah penjara di Semarang pada 2018 itulah Lamtiar bertemu seorang anak kecil yang dibesarkan dalam penjara.

Anak perempuan itu disebutnya berusia 1,5 tahun kala itu dan tinggal dalam sebuah sel bersama 42 narapidana. Orang-orang itu sudah bersamanya sejak anak itu lahir ke dunia.

Lamtiar Simorangkir menyebut anak kecil tersebut amat pintar saat berbincang dengannya. Ketika sedang asyik mengobrol, tiba-tiba lonceng penjara berbunyi.

“Begitu dengar bunyi itu, si anak ini kiss-bye ke saya, lalu dia melambai, lalu dia pergi, saya jadi bingung. Lalu saya tanya ke petugas dan ibunya. Ibunya hanya tertawa dan dia bilang, ‘Iya kak, dia sudah pintar’, maksudnya bagaimana,” kata Lamtiar.

“Dijawab lagi, ‘Iya, dia sudah tahu kalau itu tandanya masuk sel, untuk dikunci’. Ibunya cerita sambil tertawa, saya yang nangis. Kenapa? Karena anak ini kan berarti memposisikan dirinya narapidana,” lanjutnya.

“Di situ saya sudah ingin menangis banget. Dalam hati saya bilang, ‘harus buat filmnya, harus buat, apapun yang terjadi’, jadi saat itu saya tidak tahu cari izinnya ke mana karena saya ke sana ikut orang,” kata Lamtiar.

Tangisan Lamtiar melihat kondisi anak sekecil itu sudah memposisikan diri sebagai narapidana menjadi semangat untuk menggarap kondisi itu sebagai dokumenter.

Lamtiar sadar keinginan itu tidaklah mudah. Bukan hanya perihal izin, ia pun minim pengalaman menggarap film dokumenter. Namun kondisi anak-anak tak berdosa itu terus menghantuinya.

“Saya hanya ingin orang-orang tahu bahwa ada anak-anak dengan kondisi seperti ini,” kata Lamtiar.

“Saya sendiri yang menjalankan proyek ini, sangat berat waktu itu untuk bisa menyelesaikan filmnya, pendanaan tidak ada,” lanjutnya.

Lamtiar mengaku dirinya mengeluarkan semua yang ia bisa lakukan untuk mewujudkan film ini. Mulai dari merogoh kocek sendiri sampai harus menjual mobil, segala macam ia lakukan.

Ia mendatangi banyak LSM lokal untuk mencari pendanaan. Namun semua permintaannya ditolak dengan alasan ini bukan isu prioritas, selain itu sebagian merasa ketakutan karena ini “isu sensitif dan takut menimbulkan conflict of interest dengan negara”.

“Saya merasa kecewa karena mereka lah yang seharusnya memperjuangkan isu ini tapi mereka tidak berani,” kata Lamtiar.

Lamtiar juga mengaku sempat kerepotan dalam menggarap film ini karena kurang memiliki pengalaman soal dokumenter. Ia mengaku kesulitan menemukan “senior-senior yang bisa dijadikan tempat bertanya,”

Ia tak menyerah. Internet pun menjadi pelabuhan dirinya dalam mencari ilmu. Namun rintangan tak berhenti karena saat itu, Lamtiar masih bekerja penuh waktu sebagai karyawan. Sulit baginya untuk membagi waktu antara bekerja dan menggarap film ini.

Sampai kemudian, ia terlalu sering absen kerja karena menggarap film dan berujung pada pemecatan dirinya. Ia sadar mimpinya akan “Invisible Hopes” terlalu berat saat itu.

“Setelah syuting, saya melihat kondisi di dalam penjara, anak-anak dan ibu hamil, saya sampai tidak bisa tidur,” kata Lamtiar. “Kru saya juga harus break rutin karena enggak sanggup. Kalau saya sendiri harus kuat, ya karena pimpinan proyek,”

“Jadi secara emosional berat, kehidupan personal juga terpengaruh, pendanaan juga sulit, belum lagi kepahitan ‘kok enggak ada orang yang peduli, NGO-NGO yang peduli pada anak dan perempuan kok tidak peduli?” kata Lamtiar.

“Bahkan sampai saat ini, saya sudah menunjukkan film ini ke Menteri PPPA, dan sudah memberikan rekomendasi hal-hal apa saja yang perlu ditindaklanjuti, tapi sampai sekarang belum ada tindak lanjut,” katanya.

Perjuangan Lamtiar Simorangkir tidak sia-sia. Ia dikenalkan dengan Kedutaan Swiss yang rupanya memiliki program pendanaan terkait hak asasi manusia.

Tanpa pikir panjang, ia mengajukan film tersebut. Bukan hanya ke Kedutaan Swiss, tetapi juga ke Kedutaan Norwegia. Permohonan Lamtiar kepada keduanya disetujui, ia pun punya uang lagi untuk melanjutkan proyek tersebut.

Ia juga mengajukan ke Festival Film Indonesia 2021 lalu. “Invisible Hopes” mulus lolos menjadi nominasi, hingga pada 10 November 2021 judul film itu diumumkan sebagai pemenang kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik FFI 2021.

“Ada begitu banyak anak yang lahir dari narapidana perempuan di penjara,” kata Lamtiar di atas podium malam anugerah FFI yang dihadiri Presiden Joko Widodo waktu itu.

“Bapak Jokowi, saya mohon bapak untuk menyaksikan “Invisible Hopes”. Saya mohon Bapak memperhatikan anak-anak ini,” lanjutnya.

Lamtiar Simorangkir masih ingat akan ucapannya kala itu. Ia menyebutkan itu kembali saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, beberapa bulan setelah FFI 2021.

“Saya sampai bilang ke Pak Jokowi, ‘Pak saya sampai berdarah-darah lho buatnya’, ya itu benar,” kata Lamtiar.

Kini, meski pemerintah belum menanggapi permintaannya, Lamtiar Simorangkir masih terus berjalan mengisahkan anak-anak di balik jeruji besi ini dengan harapan semakin banyak orang yang peduli.

Dengan segala keterbatasan, “Invisible Hopes” baru digelar dalam acara-acara nonton bareng dan diskusi yang dibantu oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Lamtiar menyebut rencana itu bakal digelar hingga setahun.

“Yang paling penting juga ingin berusaha agar Pak Presiden bisa menonton film ini, karena masalah ini bukan hanya tugas Kemenkumham,” kata Lamtiar.

“Jadi ini sebenarnya solusinya sudah antar-kementerian, yaitu harus ada Kemenkumham, Kementerian PPPA, Kemenkes, Kemensos, dan Kemendagri soal identitas anak yang lahir di penjara,”

“Sehingga kalau kita bisa langsung bertemu Pak Jokowi kan bisa lebih mudah menggerakkan beberapa kementerian tersebut,”

“Selain itu, membangun kesadaran masyarakat soal keberadaan anak-anak dan ibu hamil di penjara ini, sehingga ketika mereka mengalami hal sama mereka bisa mensupport keluarga mereka,”

“Persoalannya kan ibu-ibu ini banyak tidak di-support keluarganya, yang jadi korban anak-anaknya. Anak menjadi korban terselubung.”

Lamtiar menyebut, masih ada kelanjutan kisah dari “Invisible Hopes” ini. Kisahnya disebutkan akan fokus pada kehidupan setelah keluar dari penjara untuk menjawab pertanyaan “ke mana mereka setelah ini?”

“Sama dengan “Invisible Hopes”, duitnya belum ada. Jadi masih sedang mencari pendanaan, semoga bisa segera dapat pendanaan sehingga syutingnya bisa diteruskan.” kata Lamtiar Simorangkir.