Darsan (80) kala itu masih menjalani tugas pertamanya di Lapangan Terbang Maospati Iswahjudi (sekarang bernama Pangkalan TNI Angkatan Udara Iswahjudi) ketika peristiwa ‘65 terjadi. Atas perintah Batalyon, ia mesti dibantu-tugaskan untuk melakukan patroli ke desa-desa dan melihat bagaimana orang-orang “diambil” secara paksa untuk kemudian digiring masuk ke dalam truk-truk sesak berisikan 50 orang. Sebelumnya, Darsan sempat bergabung menjadi sukarelawan kembalinya Irian Barat masuk ke Indonesia pada tahun ‘63. Melanjutkan jejak pengabdiannya pada negara, pada tahun berikutnya ia mengikuti pendaftaran tentara dan menjalani pendidikan militer di Klaten selama 6 bulan lamanya. Ia mungkin tak pernah menyangka pada akhirnya akan menjadi salah satu saksi atas kelamnya peristiwa ’65.
“Kalau malam saya pernah disuruh mengawal dua truk. Dua truk dibawa ke suatu lokasi, terus di sana sudah ada lubang (buaya) besar. Jadi (orang-orang di dalam) dua truk itu semuanya dibunuh,” ungkap Darsan. Orang-orang tersebut dibariskan di depan lubang buaya, satu per satu mukanya disorot lampu senter sebelum akhirnya mendapatkan pukulan bogem di leher dan langsung dilempar begitu saja ke dalam lubang kematian. Darsan tak hanya harus menyaksikan bagaimana kehidupan orang-orang itu berakhir tepat di depan mata. Enam tahun berikutnya, ia juga harus ditahan dengan tuduhan telah menerima ajaran marxis-komunis. Status keanggotaannya sebagai tentara pun dicabut sirna. Lebih-lebih, selama mendekam di penjara dalam kurun waktu 7 tahun lamanya, ia mesti berpisah dengan sang istri pertama.
Saat ini, Darsan tinggal di rumah sederhananya bersama sang istri kedua. Tak lagi sigap membawa senjata dan berpatroli mengelilingi desa, kini ia memilih menjalani profesi sebagai penjahit demi mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Sebagai veteran, Darsan pun memiliki harapan. “Karena saya sebelumnya punya penghasilan dari Pemerintah, ya moga-moga (sekarang), seberapa pun, ada imbalan (juga) dari Pemerintah, kalau boleh dikatakan, lho.”
Film dokumenter ‘Kesaksian Darsan’ arahan Annisa Rahmasari ini menjadi teropong baru bagi penonton dalam membantu melihat lanskap peristiwa ’65 secara lebih cermat. Film ini dapat disaksikan di gelaran Festival Film Dokumenter 2022 dalam program Kompetisi Dokumenter Pelajar.