Dalam masa transisi, Eric Crow (36) yang merupakan seorang penggemar grup idol JKT48 terus mempertahankan tradisi gerakan lightstick. Bersama dengan KKK48, ia dengan gigih mengikuti kegiatan JKT48 sebagai seorang penggemar. Ia juga terus mendemonstrasikan “wotagei” di usianya yang sudah tidak terlalu muda ini.
Itulah sinopsis dari film Deathcrow48, sebuah film dokumenter pendek berdurasi 20 menit karya anak bangsa. Ini adalah salah satu dari 94 film dari 27 negara yang diputar di ajang Festival Film Dokumenter 2018.
Sutradara film itu, Samuel Paul Manurung menjelaskan, Deathcrow48 dibuat karena dirinya tertarik soal industri idol. Berawal dari menonton Perfect Blue, film animasi Jepang terkenal tentang industri idol, ia lalu melakukan pendekatan ke JKT48 dan fanbase-nya.
“Kami ingin menonton penonton [JKT48],” ujar Paul dalam diskusi yang digelar usai pemutaran film di IFI / LIP Yogyakarta, Senin (10/12/2018).
Film ini menceritakan Eric yang ingin selalu melakukan “wotagei” dengan bebas, melakukan gerakan tarian dengan lightstick. Risikonya, banyak orang yang lalu menertawakannya.
Lalu dituturkan juga konfliknya dengan para fans lain yang mulai berubah menjadi individualistis karena tidak mendukung idol mereka sepenuhnya. Menurut Eric seharusnya mereka sekarang lebih suka memotret-motret idol saat tampil agar nanti di “waro” atau di-notice oleh member.
“Dulu semua fans selalu membawa lightstick sekarang mereka selalu membawa kamera,” keluh Eric dalam film.
Secara singkat film ini cukup menghibur. Terbukti, para penonton film tertawa saat Eric melakukan “wotagei” baik sendiri atau bersama teman-temannya. Penjelasan lelaki berambut gondrong itu mengenai idoling, dan munculnya para anggota KKK (Kucrux Kawai Kyokai), membuat film ini terasa konyol. Namun di balik itu, ini adalah perjalanan Eric mencapai kebebasannya dalam hidup sebagai fans berat JKT48 tanpa harus memikirkan pendapat orang lain.(den)