Dokumenter Ojek Lusi: Citra Kesedihan Tak Harus Air Mata

Lebih dari satu dekade telah berlalu sejak Lumpur Lapindo pertama kali menyemburkan lahar panas di liang Sidoarjo, Jawa Timur. Dari sekian banyak warga yang kehilangan pekerjaan dan tempat tinggal, sekumpulan warga yang selamat bersatu untuk kembali mengadu nasib.

Sudah puluhan hingga ratusan liputan dilakukan untuk mengangkat kisah Lumpur Lapindo selama beberapa tahun belakangan. Namun, masih belum ada berita baik lumpur terkait akan berhentinya semburan lumpur tersebut.

Ketakutan, kekhawatiran, dan desah traumatis selalu mewarnai perjalanan kisah bencana lumpur panas ini. Dari warga hingga pengunjung, dari orang dewasa hingga anak kecil, sudah tak terhitung berapa nyawa yang sudah lenyap mengantar air mata keluarga yang ditinggal.

Kisah “Ojek Lusi” adalah muntahan para warga Sidoarjo yang menampilkan kekebalan hangat dan buntut kesedihan di waktu paruh bersamaan.

Mungkin akan terbilang mudah apabila pengangkatan kisah Lumpur Sidoarjo (Lusi) mengambil sudut pandang haru biru para warga dan gelutan emosi politik sang pemicu lumpur. Namun, “Ojek Lusi” hadir dengan menampik muruah tersebut.

Profesi Ojek sebagai Representasi

Dibuka dengan paruh adegan bapak-bapak berkulit gelap dan aktivitas penjualan DVD, “Ojek Lusi” berhasil menggaet insting nostalgia bencana yang terlupakan ini. Kisah-kisah runyam, sedih, dan mengagetkan tidak diikutsertakan dalam bilangan “Ojek Lusi”.

Kita diajak meninggalkan sejenak doktrin drama picisan berbumbu politik yang tersaji di berita televisi bertahun-tahun lalu.

Mengenal manusia, dari hasil pengamatan manusia, disajikan untuk manusia.

Sang sutradara Winner Wijaya menelaah setiap sudut kompleks kegiatan warga dari sisi yang berbeda. Profesi tunggal yang menjadi sentral, yakni ojek.

Warga yang masih tertinggal di sekitar kawasan lumpur mengais rezeki dengan menjadi tukang ojek, pemandu wisata, atau penjual DVD tragedi Lumpur Sidoarjo.

Para tukang ojek adalah pewarta ekspresi yang magnetik menjaga tiap emosi hingga paruh akhir dokumenter. Kegembiraan mereka tergambar dari aktivitas bermain catur, berkumpul di balai pangkalan, hingga jalan-jalan menelusuri kawasan lumpur.

Penggambaran Setara Sesama Manusia

Berdialog bahasa Jawa, diselingi seruput kopi dan rokok, para tukang ojek pun senang dengan canda-candaan di luar keluh kesah kekecewaan dan rasa sedih mereka. Penonjolan aktivitas tersebut menjadi nilai unggul. Meski penderitaan yang dilalui panjang, di satu sisi mereka juga manusia yang butuh penghiburan.

Meski begitu, penggambaran disajikan terlampau panjang dan ada beberapa bagian yang membuat kita harus merefleksikan berulang kali. Setelah itu, baru kita bisa mendapat kolerasi yang tepat dengan keberlangsungan fakta lapangan.

Selain pengenalan profesi, kita pun diajak pula berjalan-jalan nostalgia oleh kisah-kisah para warga yang menjadi narasumber. Pun, “Ojek Lusi” tidak menampilkan drama tangisan duka, namun menghadirkan satire di tiap-tiap bagian cerita.

Winner berhasil membawa kita sederajat dengan para tukang ojek, yakni para dalang cerita, hingga jeritan para korban lampau yang mengisolasi tingkat posisi kita sebagai seorang manusia agar tidak merasa tinggi. Jajar kemanusiaan yang diusung menjadikan napas cerita terasa nyata dan fasih.

Tanpa mendalami kesedihan-kesedihan lama, “Ojek Lusi” setidaknya telah dengan optimis mengajak para penonton untuk berpetualang melihat sisi manusia dari kacamata yang berbeda.