Undangan ke Beranda Dolorosa
Dolorosa Sinaga, 68 tahun, seorang pematung, berada di studionya berlumuran tanah liat, membuat cetakan, dan memijat-mijat bahan untuk karyanya yang sedang dalam pengerjaan. Tekstur yang ia buat merefleksikan pengetahuannya yang mendalam akan anatomi tubuh manusia. Tubuh-tubuh patungnya bersinggungan dengan keterlibatannya dalam aktivisme menentang ketidakadilan sepanjang sejarah Indonesia. Dolorosa berkata “Sudah melekat di kepala saya bahwa tubuh sebagai jembatan statement dari mereka yang harus dibela.” Dari teras rumahnya, Beranda Rakyat Garuda, anak-anak muda berdiskusi mengenai keadaan sosial politik hari ini, bahkan turut melahirkan reaksi berantai yang menumbangkan Orde Baru pada tahun 1998 di Indonesia. Sebagai seorang guru, ia menanamkan semangat aktivisme pada murid-muridnya, melahirkan generasi seniman kritis dan aktif terlibat dalam perlawanan.
“DOLO“: Sebuah Pernyataan Sutradara
Saya mengenal Dolorosa Sinaga sejak awal 90-an, mulai dari sebagai mahasiswanya, koleganya, hingga menguratorinya dalam pameran seni. Bagi saya, menjadi tantangan tersendiri untuk memfilmkan sosok Dolorosa yang dalam praktik artistik dan kesehariannya menubuhkan tema besar seperti kemanusiaan, perlawanan terhadap ketidakadilan, dan opresi gender. Pasalnya, pendekatan film yang dilakukan Forum Lenteng adalah berangkat dari lingkungan sosial paling dekat dan tema paling lokal, seraya membedah keterkaitannya dengan tema besar itu. Oleh karena itu, saya mencoba untuk mendadar Dolorosa dari hal yang paling dekat dengan saya, yaitu lingkaran pertemanan kami yang sudah ada selama hampir 30 tahun.
Pertemuan dengan kawan-kawan memantik nostalgia tentunya, namun jarak waktu yang telah berlalu mengundang bacaan yang lebih reflektif dan tidak jarang juga kritis mengenai apa yang telah dulu kami lakukan bersama-sama. Lewat Diskusi Bulan Purnama, kami bertemu dan berdiskusi mengenai keadaan genting kala itu. Dolorosa dan Ardjuna sebagai fasilitator dalam pembicaraan-pembicaraan itu menjadi orang tua bagi para aktivis muda yang menyadari ketidakberesan itu. Hari ini, Dolorosa dan Ardjuna pun masih menjalankan perannya sebagaimana dulu pada kami dari tempat yang sama, berandanya.
Maka, menjadi pilihan yang logis bagi saya untuk mendekonstruksi beranda Dolorosa dan Ardjuna untuk melihat bagaimana ide ‘anak-anak spiritual’ Dolorosa dan Ardjuna memiliki benang merah tertentu. Saya, sebagai salah satu dari ‘anak-anak spiritual’ itu, masih belum selesai dengan beranda tersebut, terlebih lagi dengan letaknya yang bersebelahan dengan Studio Somalaing, di mana Dolorosa mematerialisasikan keberpihakannya pada narasi-narasi kecil dari mereka yang teropresi.
Layaknya pendekatan Dolorosa terhadap patung-patungnya yang kecil, bertubuh ringkih dan menampakkan tekstur jemari Dolorosa, saya mencoba untuk menghadirkan obrolan-obrolan kecil dengan kawan-kawan. Sempat muncul pertanyaan mengenai hal signifikan apa yang harus dibicarakan untuk film ini, saya yang percaya pada medium sinema menjawab, dalam film sesuatu yang kecil akan menjadi signifikan. Setidaknya itu yang saya tawarkan pada penonton untuk masuk ke beranda Dolorosa dan melihat keluar dari dalam situ.
Spektrum Hitam, Putih, dan Abu-Abu
Film dokumenter feature “DOLO” dibuat dengan teknik hitam-putih. Pilihan artistik ini mengacu pada penekanan pada permainan bidang, volume, dan tekstur yang dominan dalam karya-karya patung Dolorosa. Tekstur patung Dolo dengan pijatan jari-jarinya yang kentara membuat film ini juga turut berbicara mengenai tekstur perjalanan aktivisme sosial-politik di Indonesia yang tidak pernah mulus. Saya memilih pendekatan black and white untuk film ini untuk membaca tekstur tersebut, baik secara literal dalam studio dan patung-patungnya, maupun secara figuratif. Selain footage Dolorosa merefleksikan praktik berkaryanya, kita juga melihat kesaksian ‘anak-anak spiritual’ juga kawan-kawan Dolorosa yang terdiri dari penulis, aktivis, seniman, terkait bagaimana habitus Dolorosa membuka jalan bagi gugatan-gugatan pada ketidakadilan. Pada akhirnya, film DOLO ini bukanlah sebuah film biografi an sich, tapi sebuah kesaksian di mana kita dapat masuk dan berefleksi tentang bagaimana seni beririsan dengan aktivisme dan bagaimana kita dapat menavigasikan kompleksitas isu kemanusiaan di Indonesia.