Dunia Tak Kasat Mata: Negosiasi Atas Ketidakpastian

Kembali ke Referensi
Set Program oleh Don Lopulalan

Catatan Program

Pada April 2025, filmdokumenter.id menjajaki film-film yang menelusuri hubungan manusia dengan dunia tak kasat mata di sekitarnya. Bentuk hubungan ini hadir sebagai salah satu cara manusia menghadapi hidup yang penuh dengan ketidakpastian, baik internal ataupun eksternal. Jalinan ikatan memosisikan ketidakpastian sebagai hal yang harus dirangkul, bukan ditolak, apalagi ditiadakan. Melaluinya, ketidakpastian diolah jadi pemandu–imajinasi menavigasi ketidakpastian itu sendiri.

Dua film pertama menelusuri bagaimana kesadaran hubungan manusia dengan alam dapat diolah untuk mengatasi kekhawatiran yang hadir. Ngalih Pejalai Antu – Ritual Dayak Iban (Kynan Tegar, 2019) menelusuri keadaan ini dari prosesi adat pemindahan jalur spiritual untuk menghalau penyakit yang kerap menyerang keluarga. Penyakit diposisikan sebagai cermin atas ketidaklarasan aktivitas manusia dengan hal di luar kuasanya, seperti alam dan arwah leluhur.

Begitupun dengan Tumiran (Vicky Hendri Kurniawan, 2014) dengan dua sisi ketidakpastian yang melanda sosok Tumiran, penerus ritual Kebo-Keboan di Banyuwangi: keterbatasan ekonomi diri di tanah rantau dengan paceklik panen di kampung halamannya. Pertanyaan atas ketidakpastian ini terjawab instan ketika hadir kesadaran antara posisi diri dengan harapan komunal atas situasi alam tak tentu. Dalam hal “Tumiran”, situasi eksternal (paceklik) mengalahkan kekhawatiran individu (kekurangan uang). Dua film pertama ini menegaskan refleksivitas antara diri dengan hal di luar diri; hal ini menjadi fondasi imajinasi yang mengelola kekhawatiran menjadi pemandu kepada situasi hidup yang, semoga, lebih baik.

Hubungan dengan dunia tak kasat mata kerapkali membutuhkan jembatan atau media sebagai penanda interaksi pun kesepakatan, seperti pilihan kurban, kostum, ataupun jimat. Di film ketiga, Kambing Cup (Kisno Ardi, 2009) menunjukkan secara jelas penanda ini melalui penggunaan jimat hasil ziarah dan ritus sebagai cara pemuda desa di Gunung Kidul, Yogyakarta, memenangkan turnamen voli antar desa untuk membawa pulang hadiah utama, kambing. Sama seperti “Ngalih Pejalai Antu – Ritual Dayak Iban”, penanda berfungsi lebih dari sekedar bukti interaksi, tapi sebagai cara manusia memerkuat diri menghadapi permasalahan yang lahir dari ketidakpastian hidup. Bahwa, perasaan tidak siap justru menuntun kita kepada solusi kreatif untuk mengolahnya jadi keyakinan untuk melangkah.

Meski begitu, perasaan khawatir yang terlanjur terkubur dalam diri bisa saja menjadi ekses serta undangan kehadiran dunia tak kasat mata. Film keempat, Tiger of Minahasa (Andang Kelana dan Syaiful Anwar, 2015) menunjukkan terkuburnya kekhawatiran ini melalui adegan kerasukan Ateng, sosok kembara–pekerja migran dengan kekayaan pengalaman lebih dari kekayaan ekonomi–di Minahasa. Interaksi Ateng dengan arwah leluhur lantas bukan melulu soal spiritualitas, tetapi cermin atas usaha mengolah rasa khawatir dan tidak aman dalam perjuangannya meraih hidup yang lebih baik.

Keempat film ini bukan hanya sekedar dokumentasi tradisi atau pertunjukkan, tetapi cermin retak yang memantulkan suatu pertanyaan besar: Bagaimana manusia bisa bertahan di tengah ketidakpastiannya? Di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, dengan kurban ayam; di Banyuwangi, Jawa Timur, manusia menjelma sebagai kerbau; di Gunung Kidul, Yogyakarta, jimat dipakai sebagai alat pengharapan; di Airmadidi, Minahasa Utara, manusia dilindungi oleh arwah leluhur yang mengikutinya. Lantas, di masa perang-genosida, ancaman politik, dan krisis iklim yang menghantui kita hari ini, ritual apa yang kita miliki? Apakah kita masih punya ruang untuk ‘menari’ dengan ketidakpastian? Atau, jangan-jangan, kita telah kehilangan keberanian untuk merangkul yang tidak kita pahami?