Pada bulan Februari 2025, filmdokumenter.id menjelajahi film-film yang kerap berada dalam periferi sinema yaitu film amatir. Berangkat dari enam film terpilih di program bulan ini, film amatir dapat didefinisikan sebagai film yang berangkat dari kesadaran merekam, terutama kesadaran pemegang kamera yang merekam dirinya sendiri dan dunianya. Sering kali, apa yang terekam adalah ruang privat yang personal, akrab, dan ekspresif. Di sini, kamera menjadi alat pencatat dan pengarsip diri. Film-film amatir mengajak kita meraba subjektivitas, sebuah elemen yang tak boleh diabaikan di dalam bahasa dokumenter, dalam memaknai dan juga membentuk realitas.
Film pertama, Oxtail Soup (Deden Ramadani, 2010), merekam persiapan dan strategi para murid Sekolah Menengah Atas (SMA) dalam menghadapi Ujian Nasional (UN). Mereka memiliki kode khusus untuk menyebut contekan soal ujian, yaitu Sop Buntut (Oxtail Soup). Film ini merupakan contoh bentuk film amatir pada umumnya. Kamera bergerak liar mengikuti tubuh pemegang kamera yang berkeliling mewawancarai teman-temannya. Keisengan dan ketengilan para murid terpampang tanpa sensor. Ketimbang menangkap apa yang terjadi, film amatir cenderung menangkap atmosfer/rasa pada momen tersebut. Jika “Oxtail Soup” berbicara tentang bentuk film amatir, Golden Memories (Mahardika Yudha, Syaiful Anwar, Afrian Purnama, 2018) berbicara tentang sejarah pembuatan film amatir. Film ini menggarisbawahi peran penting film amatir dalam kultur perfilman. Rekaman-rekaman yang tersimpan bukan sekadar dokumentasi; ia juga memuat perspektif perekam yang bersinggungan dengan fenomena sosial, politik, dan teknologi pada zamannya.
Kesadaran merekam dan siapa yang merekam serta kuasa merekam menjadi persoalan di film Ampun DJ (Agus Darmawan, 2010), sebuah film tentang kehidupan malam di Yogyakarta yang menyorot empat perempuan yang berprofesi sebagai penari dan model. Hal berbeda terjadi ketika kamera dipegang oleh subjek itu sendiri, di mana ia tidak peduli dengan bingkaian dramatis film yang menstereotip kehidupan malam. Rekaman yang datang dari subjek terasa bebas, tidak ada tendensi untuk melihat dirinya sebagai subjek yang dibekukan, dan yang paling penting adalah subjek menjadi pihak yang berkuasa atas konstruksi dirinya. Film keempat, Intiong (Gabriella Dhillon, 2013) menjadi ruang curhat bagi seorang anak keturunan India-Tionghoa, di mana ia menghadap ke kamera dan mengutarakan kegelisahannya dalam menavigasi diri di tengah keluarga yang memegang kuat kode-kode identitas. Di sini, pembuat film adalah si subjek, dan kamera adalah perpanjangan dirinya. Film ini membawa narasi kedirian, yang tidak melulu individualistis, tetapi ideologis.
Film selanjutnya, Mama, Your Daughter Has Tattoos (Citra Melati, 2012), tidak mengikuti kaidah film amatir yang menempatkan perekam sebagai pencerita. Dalam film ini, perekam hanya berperan sebagai kru, sementara subjek hadir sebagai pihak yang diwawancarai. Namun, kualitas naratif mikro (gestur serta tutur para ibu ketika ditanya soal anak perempuan mereka yang bertato) dan kedekatan ibu-anak yang cair di layar mengingatkan pada rasa yang lekat dengan film-film amatir. Seperti “Oxtail Soup”, film ini mampu membuat keberadaan kamera menjadi sesuatu yang dekat dan seakan-akan tidak ada–hasil yang terpampang adalah rasa yang akrab dan jujur dalam ruang yang privat milik ibu-anak.
Film terakhir, memories/fortress (Moses Parlindungan Ompusunggu, 2020) memuat observasi yang bukan cuma bersumber dari rekaman, tetapi juga dari kekuatan montase kepingan audio dan visual. Pembuat film menggabungkan visual sekeliling yang bisu dengan suara percakapan dirinya dan keluarga yang saling berkabar di masa pandemi. Susunan audio dan visual saling mengisi dan membentuk realitas pandemi yang dialami pembuat film. Film ini menunjukkan kepekaan bahwa esensi dokumenter amatir adalah observasi tentang diri dan sekeliling, baik secara psikis dan fisik.
Keenam film tersebut menampilkan kilasan bentuk dan rasa kedekatan yang khas dalam film amatir, di mana kesadaran merekam menangkap momen privat yang memuat aspek kultural dan dapat dibaca lebih jauh. Bagaimana realita dipersepsikan, dinegosiasikan dan digeser lewat kacamata subjek menjadi inti dari film-film ini. Film amatir bukan sekadar dokumentasi, ia adalah catatan yang menciptakan dan mengabadikan citra diri–sebuah gestur kedirian dengan sejarah panjang yang terus berlanjut dalam kultur media saat ini.