Film Dokumenter ‘After Multatuli Left (Setelah Multatuli Pergi)’

“Namun, aku tau lebih banyak daripada semuanya ini. Aku tahu dan bisa membuktikan adanya banyak Adinda dan banyak Saidjah. Dan apa yang berupa fiksi dalam satu kasus, bisa menjadi kebenaran secara umum.”

Sewaktu lihat poster film ‘After Multatuli Left’ di instagram Erasmus Huis, nggak pakai mikir lagi langsung daftar untuk bisa menonton filmnya.

‘After Multatuli Left’ atau ‘Setelah Multatuli Pergi’ adalah film dokumenter seorang jurnalis lepas dari Katholieke Radio Omroep, Arjan Onderdenwinjgaard yang pada 1980-an datang ke Indonesia dan blusukan ke Kabupaten Lebak. Dikutip dari Historia.id, beberapa hasil footage yang diambilnya kala itu turut dijadikan “bahan jahitan” dalam ‘Setelah Multatuli Pergi’ yang penggarapannya dibantu oleh sineas Yogi D. Sumule.

Arjan “membandingkan” Lebak yang dulu dan Lebak yang sekarang. Terlebih, setelah Multatuli–Eduard Douwes Dekker–yang sudah pergi selama 1 abad lebih lamanya.

Bahkan, Arjan juga mencari orang-orang yang masuk ke dalam video yang diambilnya pada tahun 1987 silam.

Karya Multatuli, ‘Max Havelaar’ selalu menjadi perdebatan. Apakah itu fiksi atau fakta karena Multatuli justru menentang balik pemerintahan Belanda–negerinya sendiri. Namun, bagi Arjan, tak akan ada ‘Max Havelaar’ jika tak ada Lebak. Rakyat Lebak yang jadi objek dalam ‘Max Havelaar’ justru terlupakan.

Kegelisahannya ini membuat Arjan kembali datang ke Lebak dan melihat sendiri keadaannya di sana.

“Kebetulan banyak hal yang kami temui di tahun 1987 masih sangat mirip dengan zamannya Multatuli. Semisal tentang perjalanan kami yang terjebak di lumpur untuk menuju Desa Badur (desa latar belakang kisah Saidjah dan Adinda di Max Havelaar, red.). Seratus tahun lebih setelah Multatuli jalan di sana masih sama,” ujar Arjan dalam dialog sejarah bertajuk ‘Cerita di Balik Film Setelah Multatuli Pergi’ di Youtube dan Facebook Historia.id, Jumat (19/2/2021).

Selama menonton ini, jujur membuat saya malu. Kenapa? Karena belum pernah membaca langsung buku ‘Max Havelaar’, buku yang ditulis langsung oleh seorang berkebangsaan Belanda yang justru menentang kolonialisme yang kemudian ia tuliskan menjadi sebuah buku. Di mana “penjajahan” masih ada di Indonesia, khususnya di Lebak, yang menjadi latar tempat di buku ‘Max Havelaar’.

Dan baru mengetahui bahwa ada satu cerita dalam buku karya Multatuli, Saidjah dan Adinda, yang justru lebih terkenal dibandingkan dengan ‘Max Havelaar’-nya itu sendiri. Hal ini bikin saya googling tentang cerita tersebut.

Masyarakat Lebak percaya jika Saidjah dan Adinda adalah orang yang “nyata”. Tapi, bagi sebagian yang lain, Saidjah dan Adinda adalah fiktif. Namun, kefiktifannya tersebut merupakan refleksi dari warga Lebak itu sendiri yang kala itu hidup kesulitan di bawah pemerintahan kolonial.

Sehingga dalam film tertulis kutipan dari buku ‘Max Havelaar’:

“Namun, aku tau lebih banyak daripada semuanya ini. Aku tahu dan bisa membuktikan adanya banyak Adinda dan banyak Saidjah. Dan apa yang berupa fiksi dalam satu kasus, bisa menjadi kebenaran secara umum.”

Selain soal Saidjah dan Adinda, Arjan juga menelisik tentang pemerintahan yang masih dikuasai kaum elite serta rakyat Lebak yang “berlari ke Tuhan” yang membuat kita tergelitik bertanya “ada apa?”

Selama menonton, ada hal-hal yang selalu kupikirkan:

1. “Kepasrahan” yang membuat rakyat yang lebih “menerima”.

2. Bagaimana isi utuh ‘Max Havelaar’? Apa yang Multatuli tulis? Seperti apa gambaran pada masa itu sehingga membuat Multatuli tergerak menulis–mengkritik–pemerintahan kolonial yang nyatanya “peninggalan”-nya masih terasa sampai sekarang.

3. Wawasan saya yang kurang karena selain belum membaca ‘Max Havelaar’, saya juga baru tau bahwa ada museum Multatuli dan Cagar Budaya Rumah Multatuli di Lebak sana. Jadi tergerak ingin lihat langsung.

4. Rumah Multatuli yang dijadikan cagar budaya terlihat rapuh tak terurus. Berbeda 180 derajat ketika Arjan datang ke Lebak pada tahun 1987. Yang membuat saya berpikir minimnya support dari pemerintah dan abainya masyarakat lain (luar Lebak, Rangkas Bitung), seperti saya, misalnya, orang Jakarta yang tak mengetahui tetangganya sendiri.

5. Perubahan yang sepertinya tak terlalu signifikan dalam 100an tahun setelah Multatuli tiada atau at least dari tahun 1987 hingga 2019 (saat Arjan datang ke Lebak dan kembali ke Lebak untuk melihat “perbedaan”).

Dan dari film ini setidaknya membuka insight yang benar-benar baru, yang akhirnya mampu menggugah hati untuk membaca ‘Max Havelaar’, mencari tahu soal Saidjah dan Adinda dan Multatuli-nya itu sendiri.