Film “Homebound”, Hati-Hati Janji Manis Sponsor Pekerja Migran

Setelah berbulan-bulan terkurung akibat lockdown di Taiwan, Tari sudah tak sabar menunggu datangnya bulan April. Bulan di mana ia akan kembali ke kampung halamannya di sebuah kabupaten di Jawa Timur.

Ia memutuskan untuk pulang empat bulan lebih cepat dari jadwal, dan tidak akan lagi mengadu nasib di negeri itu. Saat ini perempuan yang bernama lengkap Tari Sasha ini bekerja sebagai perawat lansia di Taiwan. Ini merupakan kali ketiga ia bekerja sebagai pekerja migran (PMI) di Taiwan.

Perempuan yang sebelumnya bekerja sebagai marketing asuransi itu pertama kali berangkat ke Taiwan pada 2012. Awalnya ia hanya mengantar temannya ke Jakarta untuk mengurus perpanjangan kontrak kerja di Taiwan. Namun, buai manis janji agen penempatan tenaga migran membuat Tari memutuskan untuk mengadu nasib di sana. Mengapa Tari memilih Taiwan?

“Karena gaji yang dijanjikan lumayan. Kalau di Indonesia gajinya kecil, sementara saya harus menghidupi anak dan keluarga saya,” ujar Tari dalam peluncuran film dokumenter “Homebound“, pada Selasa (22/2/2022) secara daring.

Persiapan dilakukan hanya dalam dua minggu. Dan untuk bisa mendapatkan pekerjaan di Taiwan, Tari harus membayar Rp30 juta yang disebut sebagai biaya pra-penempatan. Tari dijanjikan akan dipekerjakan di pabrik mainan, tapi nyatanya ia ditempatkan di pabrik baja. Ia juga harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Sehingga setiap hari Tari harus bekerja mulai pukul 5 pagi hingga pukul 11 malam.

Tak hanya itu, gajinya juga dipotong selama hampir satu tahun lamanya dengan alasan untuk membayar biaya administrasi. Dan, Tari akhirnya di-kick ketika menanyakan uang lembur yang seharusnya dia terima.

“Sponsor selalu punya janji manis untuk membujuk rayu orang-orang seperti kami. Tapi sering janji manis itu berbanding terbalik dengan kenyataan. Bagi mereka yang penting kami-kami berangkat dan jadi uang. Kami kan komoditi yang diperjualbelikan,” ujar Tari menyebutkan kisahnya.

Namun, hal ini tak lantas membuat Tari menyerah dan kalah. Ia kembali lagi ke Taiwan dengan tekad mengalahkan keadaan. Kali ini ia tak dipungut biaya, namun gajinya dipotong selama 9 bulan lagi-lagi dengan alasan sebagai biaya penempatan. Untuk keberangkatan yang ketiga atau terakhir ia kembali membayar Rp16 juta dan masih tetap dipotong gaji.

Pengorbanan Tari tak hanya soal uang, tapi juga menyangkut hubungannya dengan keluarganya. Saat pertama kali berangkat ke Taiwan, anak Tari berusia 10 tahun. Kini sang anak telah berusia 20 tahun. Anak lebih dekat dengan neneknya, karena selama Tari bekerja di Taiwan ia diasuh oleh nenek yang juga ibu Tari.

“Dia tidak atau belum mengenal saya. Selama ini dia hanya mengenal saya saat meminta uang,” ujar Tari sambil tertawa getir.

Film “Homebound” dan Nasib Pekerja Migran Indonesia

Cerita Tari menjadi cermin kisah jutaan Pekerja Migran Indonesia (PMI), yang selama ini sering diperlakukan sebagai komoditas belaka. Mereka menjadi objek yang menghidupi tak hanya keluarga mereka, tapi juga Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) atau bahkan pengambil keputusan yang mengeruk keuntungan dari keringat para PMI.

Kisah Tari ini dipotret dalam film “Homebound”, sebuah film dokumenter animasi pendek (dengan durasi 17 menit) karya Ismail Fahmi Lubis. Awalnya kru film merencanakan untuk melakukan syuting ke Taiwan, namun kondisi tidak memungkinkan sehingga diputuskan untuk mengubahnya menjadi film dokumenter animasi.

Film ini merupakan lanjutan dari film “Help Is On The Way” yang juga disutradarai oleh Ismail Fahmi Lubis dan mendapatkan Piala Citra sebagai sebagai film dokumenter panjang terbaik di Festival Film Indonesia 2019. “Homebound” diproduksi oleh Two Islands Digital dan Kurawal Foundation.

Melalui narasi orang pertama, Tari mengungkapkan kisah pribadi terkait keputusannya bekerja di Taiwan, hubungan keluarga yang kurang harmonis, risiko bekerja di luar negeri, dan jebakan-jebakan dari sponsor yang ia alami. Tari berbagi cerita intim tentang bagaimana hubungannya yang pincang dengan putranya, mengungkapkan rasa bersalah yang dia rasakan karena meninggalkannya.

Melalui film “Homebound” kita dibawa masuk untuk melihat sebuah sistem yang membuat calon Pekerja Migran Indonesia (PMI) tidak mendapatkan akses untuk mengetahui hak-hak mereka serta fasilitas yang disediakan negara untuk mereka, sehingga permasalahan terus saja terjadi.

“Kami berharap dengan diproduksinya film “Homebound”, dan percakapan yang selanjutnya terjadi akan membantu banyak organisasi penting yang telah melobi dan bekerja untuk menerapkan zero cost dan migrasi yang aman menjadi kenyataan,” ujar Nick Calpakdjian, produser film “Homebound” dalam kesempatan itu.

Sementara Impact Producer Sofia Setyorini mengatakan, sebagai sebuah film, “Homebound” bukanlah solusi. Tapi film ini adalah titik awal untuk menciptakan perubahan dan pembelajaran bagi para calon PMI.

Two Island Digital yang memproduksi “Homebound”, bekerja sama dengan organisasi-organisasi yang fokus ke isu pekerja migran di Indonesia maupun di luar negeri, akan mendistribusikan film ini ke kantong-kantong pekerja migran di seluruh Indonesia.

“Menyajikan pemutaran film, mengadakan diskusi dan menciptakan kesadaran publik di media adalah beberapa cara untuk dapat berkontribusi membangun gerakan untuk kemudian mempercepat perubahan dan memberikan tekanan kepada semua pihak untuk menerapkan kebijakan zero cost,” ujar Sofia.

Menuju Zero Cost

Pekerja Migran Indonesia saat ini menanggung semua biaya pra-penempatan mereka sendiri yang angkanya berada di kisaran Rp30 juta. Biaya ini merupakan faktor utama yang menjadi celah dan memungkinkan agen dan calo menjerat dan membebani ribuan perempuan setiap tahun.

Tingginya biaya pra-penempatan ini harus diakui sangat menguras isi kantong para calon PMI yang rata-rata berasal dari kalangan menengah bawah. Tak sedikit dari calon PMI yang menjual lahan atau bahkan nekat mencari pinjaman dengan bunga tinggi.

Oleh karena itu, penghapusan biaya pra-penempatan dilihat sebagai langkah menuju transparansi dan regulasi yang lebih baik di industri ini. Negara lewat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dimaksudkan untuk menghapus praktik tidak adil ini dan mengubah seluruh mata rantai proses ketenagakerjaan.

Namun sayangnya, aturan di pasal 30 (1) UU PPMI belum sepenuhnya bisa dilaksanakan. Kepala BP2MI (Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia), Benny Rhamdani mengatakan pihaknya melalui Peraturan BP2MI nomor 09/2020 telah membebaskan biaya penempatan bagi PMI. Ia berharap pemerintah mengalokasikan dana APBN untuk membebaskan biaya ini.

Jika hal itu tidak memungkinkan, maka Negara perlu menyediakan skema pinjaman berbunga rendah. Selama ini memang sudah tersedia Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk calon PMI. Namun, dana ini dikelola oleh pihak ketiga sehingga ketika sampai ke calon PMI bunga menjadi berlipat.

“Yang awalnya bunga 6 persen setahun, ketika sampai ke PMI bunganya sudah menjadi 28 persen setahun,” ujarnya.

Sementara Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah mengatakan upaya memperjuangkan zero cost sudah dilakukan sejak 1974. Namun, kebijakan untuk itu baru dirilis 2017.

Anis tak setuju jika negara mengambil dana APBN untuk masalah ini. Karena dalam praktiknya yang akan merasakan manfaat bukan PMI tetapi perusahaan P2MI atau perusahaan pemburu renten lainnya.

“Yang penting adalah jangan membuka celah untuk menjadikan penempatan PMI sebagai lahan bisnis,” tegasnya sambil mendesak sebuah layanan migrasi yang terpadu di mana masyarakat dengan mudah mengakses semua informasi yang utuh tentang penempatan PMI.

Alih-alih mengalokasikan dana APBN untuk menutup biaya penempatan PMI, Anis justru mendorong pemerintah menyediakan layanan pendidikan dan pelatihan gratis untuk PMI, serta layanan migrasi yang menutup celah sehingga sektor ini bisa dibisniskan.

Pembenahan sistem tak bisa menunggu lagi, jutaan Pekerja Migran Indonesia setiap saat berada dalam risiko, permasalahan bisa muncul kapan saja dan harus segera diantisipasi. Jika UU perlindungan terhadap Pekerja Migran Indonesia tidak segera dijalankan, maka perubahan nasib akan masa depan yang lebih baik bagi Pekerja Migran Indonesia akan jauh dari kenyataan.

Saat ini tercatat terdapat sekitar 9 juta PMI yang menyumbang lebih dari 160 triliun rupiah remitansi ke Indonesia (survei 2017 yang dilakukan oleh Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik). Terlepas dari kontribusi berharga bagi perekonomian Indonesia dan dampak dalam membantu mengangkat 100-an dari 1000-an orang keluar dari kemiskinan, PMI sampai saat ini menghadapi kesulitan besar dan kurangnya pengakuan atas hak-hak mereka.

Lantas apa yang harus dilakukan oleh para calon PMI? Tari berpesan agar mereka yang akan mengadu nasib keluar negeri membekali diri dengan ilmu dan keterampilan yang cukup, khususnya bekal bahasa dan aturan negara yang akan dituju.

Menurut pengalaman Tari penguasaan bahasa penting, untuk mencegah salah komunikasi maupun menangani jika memang timbul masalah.

“Jadilah calon pekerja yang pintar, tahu risiko yang mungkin terjadi di negara tujuan,” ujarnya.

(Tulisan ini Merupakan Bagian Dari Program “Suara Pekerja: Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja” yang Mendapat Dukungan Dari “VOICE”)