Dengan kemajuan teknologi, sekarang semua orang bisa merekam secara mudah menggunakan perangkat digital. Mulai dari merekam hal penting hingga tidak penting. Merekam peristiwa krusial hingga kehidupan sehari-hari yang membosankan. Praktik merekam secara ‘amatir’ ini sudah jauh dilakukan sejak tahun 1900-an di Indonesia menggunakan film seluloid. Akan tetapi produksi gambar pada saat itu hanya dapat dilakukan oleh segelintir orang yang memiliki akses terhadap peralatan produksi dan pengetahuan sinema. Sejarah mengenai sinema Indonesia juga cenderung berfokus pada film-film industri yang dibuat untuk tujuan komersial.
Sejak awal tahun 2016, Forum Lenteng melakukan riset Sejarah Sinema Kecil yang berusaha mengungkap film amatir dan sinema keluarga. Riset ini berangkat dari beberapa asumsi. Seperti pada Desember 1926, kamera film Cine-Kodak telah dipasarkan pada masyarakat umum di Indonesia sehingga kemungkinan ada pembuat film di luar kelompok sutradara Indonesia. Selain itu, Misbach Yusa Biran pernah mengatakan bahwa film pertama Indonesia masuk pada tahun 1900, yang kemudian direvisi oleh temuan dari koran bahwa film pertama masuk tahun 1896. Sehingga tim riset mulai berpikir bahwa ada bagian-bagian lain dari sejarah sinema Indonesia yang belum atau jarang terjamah. Riset ini kemudian menghasilkan film Golden Memories realisasi dari Afrian Purnama, Mahardika Yudha, dan Syaiful Anwar. Film ini diputar di Kineforum pada tanggal 14 Agustus 2018 pukul 13.00 sebagai bagian dari pemutaran spesial ARKIPEL homoludens – 6th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival.
Golden Memories menampilkan usaha ketiga pembuat film tersebut dalam menelusuri jejak-jejak sinema keluarga di Indonesia. Film ini berfokus pada dua nama yaitu Kwee Zwan Liang dan Rusdy Attamimi. Kwee Zwan Liang adalah mantan kepala laboratorium pabrik gula di Jatipiring, Cirebon. Ia telah membuat film sejak 1926 dan karya-karyanya diarsipkan di EYE Filmmuseum Amsterdam. Sedangkan Rusdy Attamimi adalah seorang mantan pilot dan sejak tahun 1960-an telah mendokumentasikan peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya menggunakan kamera 8mm. Keduanya merepresentasikan dua periode dalam sejarah Indonesia, yaitu sebelum dan sesudah kemerdekaan.
Afrian Purnama mengatakan bahwa film ini sengaja direkam dengan estetika film keluarga. Penonton disuguhkan montase dan rekaman wawancara dengan berbagai narasumber yang melompat, mulai dari Jakarta ke Amsterdam hingga Den Haag ke Jatipiring. Film ini seakan-akan tidak berusaha membangun narasi mengenai situasi yang sedang dieksplorasi. Interaksi yang terjalin antara ketiga pembuat film dengan Rusdy Attamimi dan keluarga Kwee Zwan Liang adalah interaksi yang spontan, mentah, dan tanpa naskah. Interaksi tersebut membuat beberapa penonton tanpa sadar tersenyum dan tertawa kecil.
Sinema keluarga bersifat privat sehingga melihatnya terasa seperti sedang mengintip kehidupan orang lain. Walaupun ternyata dalam film terlihat bahwa film keluarga bahkan diperjualbelikan misalnya di pasar barang bekas. Ini menimbulkan pertanyaan bagi saya pribadi – atau mungkin penonton lainnya – mengenai apakah keintiman dari sinema keluarga akan hilang ketika yang melihatnya tidak memiliki relasi emosional dengan subjek dalam film. Di era digital sekarang, fenomena yang sama sepertinya dapat kita jumpai di media sosial seperti instagram. Bedanya adalah sang pengguna secara sadar memang merekam dengan tujuan untuk membagi momen-momen intim dengan pengikut-pengikutnya.
Volta, dari Komunitas Gubuak Kopi, mengatakan bahwa pembacaan arsip yang digarap dalam film ini sangat mengulik detail dan hal-hal yang tidak terpikirkan. Ia memuji kemampuan pembuat film dalam mencari dan mendapatkan informasi. Sejarah mengenai sinema keluarga juga dianggap sangat penting untuk diketahui oleh pembuat film lainnya yang seringkali terlalu terpaku terhadap film komersial. Selama hampir 2 jam, penonton tidak hanya diberikan edukasi baru mengenai sejarah sinema Indonesia tetapi juga memberikan perasaan hangat akan sinema keluarga. Jika mengutip dari film ini; “karena sinema keluarga menampilkan sesuatu yang intim, jujur, dan sederhana”.