KALEIDOSKOP PANDEMI DARI LINTAS PULAU
‘Hari Ini Belum Ada Kabar’ (2021) adalah kumpulan peristiwa di tengah pandemi COVID-19 yang direkam melalui perspektif masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia. Film ini menyoroti respons masyarakat terhadap pembatasan mobilitas, penerapan protokol kesehatan dan keberadaan virus corona sendiri yang sebenarnya selalu menjadi polemik. Bak rangkaian bait, fragmen-fragmen peristiwa ini dijahit menjadi puisi visual yang bising dan nyata.
Pandemi yang berlangsung lebih dari satu tahun ini telah mengubah relasi sosial-kultural masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia, terutama bagi sinema. Film ini adalah kaledioskop peristiwa, kolaborasi audio visual jarak jauh, yang mentah dan lantang.
Film ini merupakan kolaborasi dari sembilan kolektif yang diinisiasi oleh Akademi ARKIPEL, antara lain Belangtelon (Surabaya), Gubuak Kopi (Solok), Maniacinema (Pekanbaru), Pasir Putih (Lombok), LFM ITB (Bandung), Sindikat Sinema (Samarinda), Sinekoci X Klub Penonton (Palu) dan Yoikatra (Timika). Bingkai-bingkai dalam film ini dapat dibaca seperti catatan perjalanan, dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya yang terjadi di rentang waktu yang sama. Disusun oleh sekitar 40 orang dengan latar belakang yang berbeda, film ini menawarkan ragam perspektif dalam menangkap pertanyaan tentang bagaimana masyarakat Indonesia memperlakukan pandemi ini.
Sekilas mengenai Akademi ARKIPEL, forum belajar ini diprakarsai oleh Forum Lenteng. Hasil karya kolektif ini merupakan bagian dari program pendidikan alternatif tentang media dan film. Peserta Akademi ARKIPEL pada tahun 2020 adalah anggota kolektif dari berbagai pulau di Indonesia. Mereka dipertemukan dalam program produksi film daring bersama tentang isu-isu lokal di sekitar mereka.
Tiap bingkai menawarkan ketidakpastian, kabar-kabar yang belum juga terdengar sampai hari ini. Apakah di sini harus memakai masker? Jika ada sesuatu yang darurat, masihkah kita boleh berkumpul? Apakah masih ada warga yang terjaga untuk makan hingga pukul dua malam dengan bayang-bayang Virus Corona ini? Apakah Virus Corona bisa ditangkap dengan tangan kosong atau harus pakai alat canggih?
Banyak rekaman yang secara kontras menunjukkan bagaimana masyarakat Indonesia menempatkan pandemi COVID-19 di wilayahnya. Ada yang merasa bahwa partikel-partikel virus itu adalah ancaman berkekuatan masif, punya dampak ke kehidupan politik hingga agama. Namun, ada yang percaya bahwa virus ini dapat ditangkap hanya dengan jaring. Ada yang hanya terdiam di teras rumah, sudut-sudut ruangan menjadi hampa karena kehabisan topik pembicaraan. Namun, ada yang tetap melanjutkan obral di pasar tengah malam yang dihiasi lampu neon dengan warna mencolok.
Sembilan wilayah tempat peristiwa-peristiwa ini direkam punya jawaban sendiri yang tak lepas dari bagaimana Virus Corona “dihargai“ oleh masyarakat setempat. Sebagai penonton yang duduk dan menyaksikan bingkai demi bingkai peristiwa, film ini bak teropong penembus jarak ribuan kilometer yang mengizinkan kita untuk menerima kabar dari tempat yang mungkin asing. Jarak sekali lagi juga menjadi sorotan baik dalam film ini maupun pandemi.
Kita tidak bisa bicara soal pandemi COVID-19 dengan berbagai regulasinya tanpa membicarakan soal jarak. Selama menjadi pelaku karantina dan pembatasan aktivitas, jarak menjadi musuh yang dianggap menghalangi berbagai gagasan untuk diwujudkan. Uniknya, film ini mampu membuktikan bahwa jarak ternyata bisa menjadi teman, menciptakan metode produksi dokumenter jarak jauh, melibatkan banyak sudut pandang dan menyampaikan banyak suara.
Fragmen-fragmen peristiwa dalam film menyerupai kabar-kabar yang tak kunjung sampai dan terdengar dari satu wilayah ke wilayah lain hingga hari ini, hingga film ini ditonton. Jarak yang selalu menjadi faktor yang disalahkan pun pada film ini mampu dimaafkan. Sekali lagi, film ini adalah kaledioskop peristiwa yang membingkai ragam respons masyarakat terhadap pandemi.