Dalam rangka hari Film Nasional yang jatuh pada tiap tanggal 30 Maret, In-Docs dan Fantasi Tuli menggelar sebuah diskusi dan pemutaran film. Bagaimana perfilman Indonesia bergerak inklusif, mendukung isu disabilitas melalui sinematografi, baik di depan maupun di balik layar menjadi perbincangan.
Diskusi digelar melalui aplikasi Zoom, pada Rabu (30/3/2022), pukul 19.00 – 21.00 WIB. Didahului dengan pemutaran tiga film, yakni: “Merupa”, “Kereta Kita”, dan “Cinta Falhan“. Tiga judul film yang berkisah tentang disabilitas hidup para penyandang disabilitas (difabel) di tanah air. Setelah pemutaran film, agenda dilanjutkan dengan diskusi menyoal bagaimana ekosistem perfilman bisa menjadi lebih inklusif untuk penonton dan difabel sebagai pembuat film.
Hadir sebagai narasumber para sutradara film tersebut. Mereka ialah, Ary Aristo (sutradara “Merupa”), Hasna Mufidah (sutradara “Kereta Kita”), Mayang Irsan (sutradara “Kereta Kita”), serta M. Ismail (sutradara “Cinta Falhan”).
“Merupa” dan Sutradara
Ary Aristo, sutradara Film “Merupa”. Film ini berkisah tentang perjalanan hidup remaja dengan asperger syndrome yang mencari jati diri. Ary, pria ini guru sinematografi, sekaligus sahabat Ferdy, tokoh utama film “Merupa”. Dia bercerita bagaimana dirinya bisa menjalin hubungan baik hingga membuat film bersama.
Ferdy ini sangat eksperimental, kata Ary. “Displin seninya juga banyak. Dia melukis, animasi, serta membuat kriya (crafting). Serta yang menarik ketika saya menjalin hubungan, saya tidak terganggu dengan Ferdy yang asperger syndrome, salah satu spektrum autis,” terang Ary.
Lanjutnya, “Sedari kita kenal di kelas X SMA, kita sudah membuat karya bersama. Kemudian, awal 2020 In-Docs dan British Council Indonesia membuka kesempatan untuk kami. Menawarkan ide membuat film dokumenter. Berlanjut ngobrol (diskusi) dengan para mentor dan produser, menawarkan dialog yang selama ini kami endapkan,” ungkap pria lulusan jurusan film dokumenter Institut Kesenian Jakarta ini.
Sang sutradara pun berkisah, bahwa hubungan dirinya dengan tokoh utama filmnya benar-benar hubungan kasual, organik, hubungan guru murid, sahabat. Saat proses pembuatan film, mengalir saja, kata Ary. “Diawali dengan observasi, kemudian syuting, sekaligus mencipta ide bagaimana secara ideal kisah Ferdy bisa dimampatkan dalam film pendek ini. Inti film ini, bagaimana Ferdy seorang remaja yang sedang mencari jati diri yang dia temukan melalui jalur seni,” terang pria yang lebih dari 20 tahun berkecimpung dalam produksi jurnalisme dan dokumenter TV itu.
“Cinta Falhan” dan Sutradara
Adapun M. Ismail, sang sutradara “Cinta Falhan” pun membagikan pengalamannya, “Saya bikin film ini, bermula ketika In-Doc ada pelatihan. Saya tuli berkolaborasi dengan orang dengar, yaitu Frans Magastowo. Kita kerja secara inklusif. Awalnya, Ismail mengaku ada kesulitan komunikasi dengan Frans. Tetapi pada akhirnya bisa komunikasi bisa berjalan baik, dan terwujud sebuah film “Cinta Falhan”.”
Film pendek “Cinta Falhan” (Falhan’s Love) ini berkisah tentang sebuah keluarga, ayah kehilangan satu tangan kanan, ibu seorang cerebral palsy, dan Falhan sang putra yang autis. Bagaimana pasangan suami istri yang keduanya difabel dalam membesarkan, mendidik, juga memberi teladan kepada sang putra, diamati, dicatat, kemudian difilmkan oleh M. Ismail.
Ismail menggeluti perfilman secara otodidak. Ia seorang aktivis sekaligus staf media di SIGAB Indonesia. Sebuah organisasi yang mengampanyekan isu disabilitas dan inklusivitas. Mentor pembuatan proyek dokumenter VR di Festival Film Dokumenter 2019 ini juga telah memproduksi beberapa karya seperti “Curhat sang Tuna Rungu” (2010), “Pencari Keadilan” (2014), “Cinta Falhan” (2021) dan karya terbarunya bersama Riani Singgih dan Annisa Adjam tentang dua seniman tuli dengan latar belakang berbeda yang baru saja rampung.
“Kereta Kita” dan Sutradara
Sedang Hasna Mufidah, adalah remaja perempuan dengan disabilitas tuli. Dia sutradara Film “Kereta Kita” sekaligus pendiri Fantasi Tuli. Dia mengaku bersemangat. Pasalnya, karena dia yang disabilitas dapat diterima oleh lingkungan. “Selama ini aku suka menonton film, tapi jarang film Indonesia ada teks. Banyak film Indonesia aktornya orang dengar yang berpura-pura tuli. Aku ingin tuli bisa masuk ke film,” ujar Mufi.
PR aku membuat orang tidak audism, lanjut dia. “Audism itu misalnya peran tuli diperankan oleh orang dengar. Ini termasuk diskriminasi. Karena tuli tidak dilibatkan di perfilman,” terang Mufi.
“Kereta Kita” adalah film pertama Mufi sebagai sutradara. Sebelumnya, Mufi adalah aktris tuli di beberapa film pendek. “Silent in Sound”, film pertama yang ia tulis dan produseri telah diputar di Shanghai Deaf Film Festival 2018.
Keinginannya untuk mengadvokasi dan mendorong teman-teman tuli terlibat dalam berkesenian membuatnya mendirikan Fantasi Tuli.
Berikutnya Mayang Irsan, co-sutradara “Kereta Kita”. Lulusan program studi perfilman Middlesex University dan penggiat audiovisual dari Bogor ini telah aktif mengembangkan film pendek sebagai penulis dan sutradara sejak tahun 2018. Bekerja freelance sebagai produser pelaksana dan pekerja konten, karyanya banyak seputar budaya, lingkungan, dan seni tari.
Pada sesinya sebagai narasumber, Mayang memaparkan bagaimana kerja sama dengan Mufi terjalin. Dari awalnya pembicaraan soal film pendek ini lahir sewaktu kami sedang ngopi di Kopi Sunyi. Tempat itu penting bagi kami, kata Mayang. Karena latar belakang kami film dan teman-teman Fantasi Tuli bersemangat bikin film, akhirnya kami berkolaborasi. Sebuah Film “Kereta Kita”, berkisah bagaimana tuli jatuh cinta, adalah yang dituturkan dalam film pendek itu.