Tak banyak yang tahu bagaimana kehidupan lapas yang sesungguhnya. Selama ini media hanya mempertontonkan para tahanan yang berdiri atau duduk manis di balik jeruji besi.
Kalau di sinetron atau film populer, mereka diperlihatkan duduk di atas tikar, saling mengobrol satu sama lain, lalu makan nasi bungkus. Tapi siapa sangka, penjara bukanlah tempat seperti yang selama ini dicitrakan.
Penjara adalah kota mini yang dihuni oleh beragam manusia. Setiap hari, mereka beraktivitas dari mencuci, menjemur baju, berolahraga, hingga melakukan transaksi jual beli.
Di lapas perempuan, beberapa tahanan terlihat memandikan bayi, memakaikan popok, dan memberinya susu. Saat masuk penjara, beberapa di antaranya tak sadar sedang hamil muda. Akibatnya mereka harus melewati masa kehamilan, melahirkan dan membesarkan anaknya di penjara.
Ini digambarkan oleh Lamtiar Simorangkir dalam film dokumenter “Invisible Hopes“. Rencananya film ini akan tayang pada Mei 2021 mendatang. Kali ini saya mendapatkan kesempatan menontonnya lebih dulu. Tepatnya Sabtu (3/4/2021) dalam gala premiere di XXI Senayan City, Jakarta Selatan.
“Invisible Hopes”, atau harapan yang tak terlihat, tentu bukan sekadar judul yang tak punya maksud di baliknya. Lamtiar Simorangkir ingin memberi tahu bahwa ada suatu kondisi yang belum persis diketahui namun butuh perhatian. Banyak anak-anak yang lahir dan hidup di balik jeruji besi. Mereka menjadi korban terselubung dalam penjara dewasa.
Film diawali dengan cerita seorang tahanan perempuan yang membantu rekannya melahirkan di penjara. Dengan pemahamannya yang minim tentang persalinan, ia berusaha mengeluarkan sang bayi dari perut ibunya.
Ia kemudian menyerah dan meminta bantuan petugas untuk membawanya ke rumah sakit. Beberapa menit kemudian suara bayi mulai terdengar. Tampak tenaga medis memotong ari-ari bayi dengan gunting operasi.
Anak yang masih merah itu kemudian dibawa ke penjara. Seisi lapas menyambutnya dengan suka cita. Ia ditidurkan di atas kasur tanpa dipan bersama dua bayi lainnya.
Beberapa hari kemudian, sang ibu dibawa ke ruang sidang. Ia terbukti menjual narkoba dan didakwa hukuman delapan tahun penjara dan denda Rp1 Miliar. Jika tidak dapat membayarnya maka akan diganti dengan hukuman penjara selama satu tahun.
Sudah pasti anaknya tersebut akan tumbuh di penjara. Sebab, tidak ada keluarga yang bersedia mengasuhnya. Memang sebaiknya seorang anak dirawat ibunya. Paling tidak enam bulan agar anak mendapatkan ASI eksklusif. Setelah itu baru boleh diberikan susu formula.
Di dunia kedokteran, ada anjuran memberikan ASI hingga dua tahun. ASI menjadi satu-satunya asupan nutrisi yang baik bagi tumbuh kembang anak. Untuk itu ibu harus konsumsi makanan bergizi. Apa yang ibu makan akan masuk ke tubuh anak melalui ASI.
Tapi dalam penjara, para napi hanya makan seadanya. Setiap hari petugas hanya membagikan makanan yang berisi nasi, sayur dan lauk. Menurut mereka rasanya hambar.
Kalau ada uang, mereka akan membeli makanan yang dijajakan oleh orang-orang berseragam kuning tua dalam penjara. Dalam film ini tidak dijelaskan siapa mereka. Petugaskah atau pedagang yang diizinkan berjualan di penjara? Yang jelas, setiap hari transaksi jual beli ini terjadi. Mereka menjual makanan seperti nasi bungkus, gorengan dan aneka jajanan lainnya.
Sayangnya tak ada satupun yang menjual buah. “Berkhayalnya, sih, lagi makan buah pir,” ujar seorang perempuan hamil yang tengah makan ubi. Baginya makan buah hanyalah impian. Cukup membayangkan ubi sebagai buah pir, sudah membuatnya bahagia.
Suatu hari, salah seorang anak menderita sakit mata. Ia harus segera dibawa ke dokter. Sayangnya biaya berobat ke dokter spesialis mata cukup mahal. Beberapa tahanan patungan hingga terkumpul Rp500 ribu.
Kesehatan anak-anak dalam tahanan memang kurang mendapat perhatian serius dari petugas. Biaya pengobatan, pampers, dan susu bukan menjadi tanggungan lapas. Untuk membeli kebutuhan anak, para ibu mengandalkan uang kiriman dari keluarganya. Ada juga yang berusaha mencari uang sendiri dengan mencucikan baju tahanan lainnya. Bahkan ada yang menjual narkoba secara diam-diam.
Seorang tahanan bernama Fifi dipaksa melakukan USG. Ia menolaknya lantaran tak memiliki uang. Petugas terus memaksanya karena usia kandungannya sudah 40 minggu, namun tak kunjung melahirkan. Benar saja, ada masalah dalam kandungannya. Ketubannya tinggal tujuh persen. Fifi harus segera melahirkan dengan operasi caesar.
Melahirkan secara caesar tidaklah murah. Fifi berusaha menelpon keluarganya. Tapi sepertinya keluarganya tak bisa membantunya. Pihak lapas enggan menanggung biaya persalinan Fifi. Ia kemudian dibebaskan pada hari itu juga.
Di lokasi lapas yang berbeda, beberapa anak memanjat jeruji besi. “Mama petugas, mama buka.” Tatapan matanya yang tak berdosa mengisyaratkan harapannya untuk bisa keluar dari penjara.
Kamera berpindah ke seorang anak yang mengalami biduran usai minum susu formula. Ia dibawa ke klinik. Dokter bertanya pada ibunya, makanan apa yang biasa diberikan. Ibunya menjawabnya dengan nasi yang dicampur garam atau mecin. “Kok mecin, sih?” tanya dokter.
Sudah dapat dibayangkan apa yang akan terjadi pada anak-anak ini. Nutrisi yang ia peroleh tak cukup baik, bahkan mungkin sejak dalam kandungan. Jika dibiarkan terus menerus, bukan hanya kesehatannya yang memburuk, mereka berisiko besar mengalami malnutrisi.
Film ditutup dengan rekaman satu per satu anak yang dijemput oleh keluarganya. Ada yang tampak bahagia, ada juga yang bersedih karena harus berpisah dengan ibunya. “Mama…,” tangis salah seorang anak laki-laki di depan pintu penjara.
“Invisible Hopes” tak hanya menyadarkan kita untuk bersyukur dengan kehidupan kita saat ini. Sesulit apapun kehidupan kita saat ini masih jauh lebih baik daripada mereka orang-orang yang berada di balik jeruji besi.
Mayoritas tahanan perempuan adalah pengedar narkoba yang terpaksa melakukan pekerjaan ‘haram’ ini karena himpitan ekonomi. Mereka bukan hanya seorang ibu yang bertugas mengurus anak-anak dan suaminya tapi juga tulang punggung keluarganya.
Nahasnya, beberapa di antara mereka ditahan dalam kondisi hamil. Anak-anak yang dilahirkan tidak mendapatkan hak yang seharusnya mereka dapatkan. Kesehatan mereka tidak terjamin di tengah lingkup sosialnya yang tidak sehat. Dan ternyata, negara pun belum menjamin nasib perempuan hamil dan anak-anak yang lahir dalam penjara.
Kondisi ini sangat bertolak dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang mengamanatkan negara untuk melindungi warganya dan memajukan kesejahteraan umum agar terwujud keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lamtiar Simorangkir berhasil mengaduk-ngaduk emosi penonton lewat teknik sinematografinya yang apik, sekaligus membuka mata masyarakat tentang beratnya kehidupan yang harus dilalui perempuan dan anak-anak dalam penjara.
Kehadiran film ini tentu saja penting. Ia dapat dimaknai sebagai pesan kepada para pemimpin negeri untuk berdialog dan mengontruksi solusi baru yang lebih berpihak pada perempuan hamil dan membawa harapan baru bagi anak-anak yang hidup dalam penjara dewasa.