Bencana sejatinya merupakan sesuatu yang sangat dekat dengan masyarakat Indonesia. Kedekatan itu menghasilkan sebuah relasi khas manusia dan alam yang menunjukan pola adaptasi ekologis terhadap dinamika alam, termasuk potensi bencana yang ada di dalamnya. Misal, masyarakat adat Jawa yang berabad-abad hidup di dalam sabuk gunung berapi (ring of fire), punya pengetahuan dan kearifan lokal tentang karakter gunung dan praktik mitigasi bencana ketika suatu waktu gunung di dekatnya menyemburkan lahar. Namun, ketika yang disemburkan adalah lumpur panas seperti apa yang terjadi di Porong, Sidoarjo. Lain lagi ceritanya.
Semburan lumpur panas yang terjadi di Sidoarjo sejak tahun 2006 tidak disebabkan oleh bencana alam. Melainkan bersumber dari kesalahan operasi pemboran yang disengaja oleh PT. Lapindo Brantas. Akibatnya, berjuta kubik lumpur keluar dari perut bumi dan belasan desa tenggelam oleh lumpur. Banyak upaya untuk menghentikan semburan lumpur panas ini, mulai dari usaha PT. Lapindo Brantas melempar berton-ton bola beton untuk menyumbatnya. Sampai ikhtiar beberapa kelompok supranatural dengan melempar kambing ke lumpur, harapannya untuk “meredakan alam yang murka”.
Usaha-usaha itu tampaknya tidak banyak membuahkan hasil, Lumpur Sidoarjo (Lusi) terus menyembur dan mengubah secara mendasar tatanan geo-spasial kota Sidoarjo berikut kondisi masyarakat yang terdampak. Beberapa masyarakat yang masih tinggal di sekitaran Lusi harus beradaptasi dengan lingkungan baru dan melakukan pola hidup yang baru. Film dokumenter ‘Ojek Lusi’ (2017) yang disutradarai Winner Wijaya, mengajak penonton melihat bagaimana masyarakat korban Lusi hidup berdampingan dengan bencana.
‘Ojek Lusi’ dibuka dengan pemandangan lumpur yang luas. Menunjukan betapa besar dan luasnya dampak dari bencana ini. Setelah itu penonton akan bertemu dengan Pak Mino, seorang tukang ojek wisata yang juga menjual DVD berisi dokumentasi sejarah Lusi. Pak Mino tidak sendirian di sana, ada banyak korban Lusi yang bertahan hidup dengan menjadi semacam tour guide. Winner mengikuti keseharian Pak Mino dan kawan-kawan ojeknya yang menjadi saksi hidup tentang kisah pilu kampung yang tenggelam.
Bencana bukan soal kehancuran materil semata. Namun lebih dari itu, bencana selalu merupakan rangkaian peristiwa yang berpusat pada relasi manusia dengan ekosistem di sekelilingnya. Dengan berfokus untuk melihat manusia-manusia yang terdampak dari suatu bencana, suatu karya punya potensi untuk menampilkan kisah yang lebih humanis. Pendekatan humanis ini dipilih ‘Ojek Lusi’ dengan menampilkan kisah keseharian Pak Mino dan kawan-kawan ojeknya. Dari kisah mereka penonton tidak akan tahu banyak tentang berapa kerugian yang dihasilkan atau penjelasan statistik luas wilayah yang terdampak, kisah para tukang ojek justru menunjukkan relasi manusia dengan alamnya yang tidak dapat terpisahkan.
Ketika alam di lingkungan hidup berubah, manusianya juga berubah. Lusi memaksa masyarakat yang terdampak untuk beradaptasi dengan alam yang serba baru. Siapa pula yang menduga bencana ini bisa jadi objek wisata. Menjadi tukang ojek sekaligus penjual DVD adalah cara untuk beradaptasi dan terus bertahan hidup. Ketika Pak Mino mengingat ucapan Mama Lauren dan Ulama yang mengatakan jika Lusi ini baru akan berhenti setelah 30 tahun, Pak Mino sudah menerima kenyataan jika menjadi tukang ojek adalah jalannya seumur hidup.
Pak Mino dan kawan-kawan ojeknya juga memiliki cara tersendiri untuk menerima kenyataan, yaitu lewat komedi. Komedi memang senjata ampuh untuk menyiasati kenyataan yang pahit, suatu bentuk resiliensi bagi orang-orang yang kerap tertindas. Ketika kawan-kawan ojek diperkenalkan misalnya, ada yang diberi nama panggilan Yuni Sarah, Haji Bolot, Sengkuni pamannya Kurawa dsb. Atau bahkan ketika salah seorang ojek tertabrak oleh marinir, ia menceritakan kejadian itu sambil diselingi tawa.
Dalam buku ‘The Psychology of Comedy’ (2021) karya psikolog Inggris G. Neil Martin, dijelaskan jika humor adalah sesuatu yang berkelindan dengan dukungan sosial, solidaritas, kebahagiaan hidup dan juga resiliensi. Para korban Lusi yang banyak kehilangan hal-hal yang dicintai, merasakan bencana yang secara fundamental mengubah hidup mereka. Mereka butuh komedi/humor untuk bertahan dari getirnya hidup. Dengan menampilkan sisi yang humoris dari subjek dalam film ini, bukan berarti ‘Ojek Lusi’ meremehkan isu sosial atau kelestarian alam. Bagi Pak Mino dan kawan-kawannya, bagaimanapun hidup harus terus berjalan.
Melalui film dokumenter ‘Ojek Lusi’, nampaknya Winner ingin membawa penonton untuk melihat para korban Lusi yang tidak hanya sekadar korban. Bencana memang selalu datang sepaket dengan kesedihan, namun manusia punya banyak dimensi emosional. Dan kesedihan tentu bukan satu-satunya. Banyaknya lapisan dimensi para korban Lusi yang dihadirkan dalam film ini, adalah upaya menempatkan para korban sebagai manusia yang utuh. Dan pada akhirnya dengan melihat para korban dengan utuh, empati dalam hati penonton akan mendapatkan tempatnya untuk tumbuh.