“Demi mewujudkan realitas madani, manusia perlu menjaga hubungan dengan pencipta, sesama manusia, dan dengan alam,” begitulah prinsip hidup orang-orang Kaili, sebuah suku yang banyak mendiami wilayah Sulawesi Tengah (khususnya di Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, dan Kota Palu), dalam film dokumenter pendek “Saya di Sini Kau di Sana” (2022) arahan Taufiqurrahman Kifu dalam program “Hidup dengan Bencana”.
Berlokasi di ring of fire, wilayah yang secara geologis paling aktif di dunia, membuat Indonesia rentan terhadap bencana alam; dan 2018 merupakan tahun yang berat bagi masyarakat Indonesia. Belum usai masyarakat Lombok menata puing berserak akibat bumi berguncang, Palu dan Donggala diguncang gempa pada 28 September 2018 silam.
Bencana merupakan perkara hidup yang bisa hadir dalam berbagai bentuk, pada waktu yang selalu tak terduga. Bisa dibilang, bencana merupakan sebuah keniscayaan dalam kehidupan manusia. Sudah sepatutnya manusia beradaptasi dan membangun langkah-langkah yang bisa diambil dalam rangka mempersiapkan diri, agar dampak bencana dapat dikurangi.
Namun, kenyataannya ruang diskusi tentang bencana belum terbangun dengan baik. Tidak semua orang menganggap bencana sebagai hal yang lumrah untuk dibicarakan. Melalui pemutaran program “Hidup dengan Bencana”, Minikino Monthly Screening and Discussion tanggal 15 Maret 2023 lalu, teman-teman filmmakers dari Palu serta programmer, Halijah Jawardin dari Sinekoci, mengaku bahwa membicarakan bencana adalah hal yang tabu di Palu. Kebanyakan warga beranggapan bahwa membuka diskusi soal bencana sama dengan meminta bencana untuk menimpa mereka. Alhasil, tidak banyak ruang dan kesempatan untuk membahas soal mitigasi dan resiliensi karena banyak dari mereka yang memilih membisu dan berserah diri.
Nur Amri Firmansyah, sutradara film “Yang Hilang dan Yang Tumbuh “(2022), mengaku bahwa ketika ia duduk di bangku SMA, informasi bencana di Palu tidak pernah sampai ke telinganya. Warga di sana sungguh kekurangan arsip dan informasi yang resmi soal kebencanaan. Yang mereka jadikan pegangan adalah budaya tutur dari nenek moyang, seperti cerita-cerita rakyat.
Menanggapi situasi tersebut, Halijah Jawardin dan para pembuat film di Palu justru memilih untuk melawan arus. Dengan gigih, mereka memutuskan untuk bersuara melalui film dokumenter. Bencana tragis yang menimpa kampung halamannya empat tahun lalu menumbuhkan aspirasinya untuk melahirkan program film “Hidup dengan Bencana”—yang mengangkat mitigasi bencana alam tsunami.
Mereka sadar dan percaya bahwa manusia perlu mengakali cara hidup berdampingan dengan bencana yang akan terus datang dan pergi. Bersama dengan Sinekoci, komunitas film asal Palu, serta komunitas kolaborator asal Sulawesi Tengah lainnya (Forum Sudutpandang, Institut Tana Sanggamu, Nemu Buku dan Sikola Pomore), program “Hidup dengan Bencana” akhirnya berhasil menghasilkan 5 karya film dokumenter pendek. Kelima film tersebut menyorot isu kebencanaan dengan beragam perspektif yang “baru” atau jarang disuarakan sebelumnya; menjadikannya rangkaian yang kuat untuk sebuah program.
Disutradarai oleh Taufiqurrahman Kifu, “Saya di Sini Kau di Sana”, yang telah disinggung di awal paragraf, mengangkat persoalan akan ruang antara manusia dan buaya di teluk Kota Palu. Yang membuat dokumenter ini berbeda dari ke-4 dokumenter lainnya adalah dokumenter ini memiliki unsur kefiksian karena berangkat dari cerita rakyat dan arsip yang berhasil ditelusuri soal hubungan buaya dan manusia. Kifu melibatkan narasi dongeng tentang Lasa Kumbili, seorang bangsawan yang diceritakan memiliki kembaran Yale Bonto, sosok buaya. Kifu juga menyebutkan La Goroba, seekor buaya yang menelan seorang penambang pasir sekaligus gerobaknya tahun 1935. Dalam cerita tersebut, penonton turut diajak mengenal John Fischer dan keturunannya, yang dikatakan tidak boleh bermain di sungai selepas menembak La Goroba dengan peluru emas, karena La Goroba diyakini akan membalaskan dendam.
Mungkin ada yang pernah celaka diterkam buaya, tetapi dalam dokumenter ini, kita juga diajak mendengar kesaksian mereka yang pernah diselamatkan. Kifu merasa narasi tersebut bukan sekadar cerita biasa, melainkan sebuah peringatan untuk menjaga relasi yang baik antara manusia, alam dan seisinya. Hal tersebut membuat “Saya di Sini Kau di Sana” menjadi dokumenter pembuka yang tepat untuk program ini.
Jika “Saya di Sini Kau di Sana” (2022) membahas persoalan antara manusia dan buaya, “Tanigasi” (2022) karya Ade Nuriadin membahas soal kebertahanan pangan pasca-bencana yang jarang dibicarakan. Penonton akan diajak duduk dekat subjek dan merasakan resiliensi perihal potensi kebertahanan hidup manusia dari bencana alam melalui medium yang nyata. Dokumenter ini memperkenalkan penonton dengan pasangan suami istri, Rusdin dan Wardia, yang menggarap kebun terbengkalai milik mereka setelah tiga hari bencana 28 September 2018 berlalu.
Pada awalnya, Rusdin masih memilih bekerja sebagai pekerja bangunan. Namun, melihat keadaan pasca-bencana yang remuk redam, Wardia, sang istri, memintanya untuk berhenti. Dengan sejumlah bantuan yang mereka terima dari pemerintah, Wardia percaya bahwa kebun yang terbengkalai milik mereka akan menghasilkan sesuatu. Beragam bibit seperti; bibit kelapa, bibit kopi, kangkung, terong, kacang panjang mereka tanam pada kebun mereka. “Tanigasi” (2022) memperlihatkan bahwa Rusdin dan Wardia sangat gigih untuk menanam tanpa peduli kapan akan menuai. Meski yang tersisa dari bencana 2018 lalu adalah puing rumah mereka yang hancur, kebun mereka menjadi harapan dan tumpuan untuk meniti hari demi hari.
“Kadang-kadang timbul, kadang-kadang tenggelam,” dari judulnya, “Timbul Tenggelam” (2022) garapan Nurcholis Darmawan, merupakan peribahasa untuk memaknai pasang dan surut kehidupan. Hal tersebut menjelaskan kondisi Desa Tompe, Kab. Donggala, yang tanahnya terperosok sehingga terjadi fenomena banjir rob di waktu-waktu tertentu. Dokumenter ini merupakan hubungan antara semangat dan putus asa yang bergumul menjadi satu dalam realitas. Penonton diajak mencermati diskusi dari Sarifa dan kakeknya; dua generasi penyintas di Desa Tompe yang dilanda banjir rob pasca-bencana tahun 2018 dan 1968. Dalam film selanjutnya, penonton juga akan berkenalan dengan penyintas lainnya, Nene Ratna. Seorang wanita lanjut usia berdarah Kaili lewat “Turun ke Atas” (2022) yang disutradarai oleh Rizki Syafaat Urip. Para penyintas dalam dua film dokumenter ini benar-benar menunjukkan bahwa dengan segala keterbatasan, mereka tetap berusaha memperjuangkan pijakan yang tersisa di rumah mereka.
Begitu pula dengan “Yang Hilang dan Yang Tumbuh” karya Nur Amri Firmansyah sebagai film penutup program. Dokumenter ini mengajak penonton untuk melihat ketangguhan perempuan berusia 19 tahun, yang terpaksa tak menyelesaikan pendidikannya di SMK sebab harus menikah karena telah dikaruniai seorang anak. Dokumenter ini berhasil membawa kesadaran perihal penciptaan ruang yang aman bagi perempuan dan anak saat pasca-bencana.
Para pembuat film yang terlibat dalam program “Hidup dengan Bencana” melakukan upaya membaca kembali pengetahuan dari arsip-arsip lokal seperti cerita rakyat dan mitos, dan memberi konteks pengetahuan ekologi di masa kini. Tujuannya untuk mengkritisi bagaimana cara pandang manusia yang mungkin terlalu antroposentris, sekaligus memberikan tawaran metode untuk mitigasi bencana itu sendiri.
Di samping menjadi pernyataan bagaimana seharusnya kita menyikapi bencana dengan bekal mitigasi, program film pendek “Hidup dengan Bencana” ini juga memberikan petunjuk pada penonton bahwa bantuan dari pihak yang berwenang belum tentu tepat dan berhasil mengurangi risiko bencana. Gerakan akar rumput dari warga setempat perlahan merajut harapan di Sulawesi Tengah, termasuk dengan eksistensi program film ini. Misi mengedukasi lewat film terpatri dalam diri mereka masing-masing setelah mengalami peristiwa tragis ini. Alih-alih bersandar pada konsep welfare state (kala pemerintah dianggap memegang peranan penting dalam menjamin kesejahteraan bagi setiap warga negaranya), program “Hidup dengan Bencana” ini membuktikan bahwa sistem ketahanan bencana masih menitikberatkan pada solidaritas warga setempat.
Hal yang sekurang-kurangnya dapat dilakukan oleh kita saat ini adalah bersama-sama menjaga hubungan dengan pencipta, manusia, dan dengan alam, seperti nilai yang diemban oleh orang Kaili, “Demi mewujudkan realitas madani, manusia perlu menjaga hubungan dengan pencipta, sesama manusia, dan dengan alam”. Saya mencatat petuah ini sambil mengingat alam yang hidup dan bergerak. Ia bukan objek mati yang bisa seenaknya dieksploitasi. Alam memberikan sumber penghidupan untuk manusia, dan alam jugalah yang mengambilnya kembali.