Program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia dimulai pada era 1950-an, dipelopori oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Program ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan atas berbagai masalah kependudukan dan tingginya angka kematian ibu di Indonesia. Namun, saat itu KB dinilai sebagai upaya pembatasan kehamilan semata oleh sebagian besar masyarakat dan akademisi. Pemerintah sendiri belum melihat manfaat KB sebagai cara mengontrol populasi untuk meningkatkan kualitas kehidupan warga negaranya. Justru sebaliknya, reproduksi dilihat sebagai tugas mulia perempuan untuk menyiapkan generasi baru yang akan mengelola sumber daya alam Indonesia yang berlimpah.
Isu kependudukan dan KB mulai dilihat lebih serius di masa kepemimpinan baru Pemerintah Soeharto pada tahun 1966. Setahun setelahnya, Presiden Soeharto menandatangani Deklarasi PBB yang menyatakan bahwa mengatur jumlah dan jarak kelahiran anak merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Pada 1968, pemerintah mendirikan Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) melalui Keputusan Presiden. LKBN kemudian berkembang menjadi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 1970. BKKBN bertugas mengoordinasikan dan melaksanakan program KB di seluruh Indonesia, dimulai dari daerah padat penduduk seperti Jawa dan Bali.