Pada 1998, Indonesia mengalami krisis ekonomi yang memicu kerusuhan besar- besaran dan kekacauan politik yang kemudian melengserkan pemerintahan Soeharto setelah 30 tahun berkuasa. Dalam situasi ini, warga negara keturunan Tionghoa–yang sering disebut sebagai peranakan Cina–menjadi salah satu ke- lompok yang paling terdampak. Mereka dijadikan target kekerasan, penjarahan, dan pembakaran akibat kerusuhan yang terjadi di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya. Toko-toko, rumah, dan properti milik mereka dirusak dan dibakar. Banyak dari mereka yang menjadi korban kekerasan fisik, termasuk pemerkosaan dan pembunuhan.
Setelah kerusuhan, pemerintahan baru Presiden Habibie yang menggantikan Soeharto membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk menyelidiki peristiwa tersebut. TGPF mengeluarkan laporan yang mengkonfirmasi terjadinya kekerasan fisik dan seksual sistematis terhadap warga keturunan Tionghoa, khususnya perempuan. Hasil investigasi menyebutkan adanya keterlibatan oknum- oknum yang memanfaatkan situasi untuk melakukan tindakan kejahatan terhadap warga keturunan Tionghoa. Meskipun TGPF menemukan bukti-bukti yang signifikan, banyak pelaku kekerasan tidak dituntut atau hanya mendapat hukuman ringan. Tidak ada upaya serius untuk menuntaskan kasus-kasus pemerkosaan secara komprehensif. Hal Ini menimbulkan ketidakpuasan dan perasaan tidak aman di kalangan komunitas Tionghoa.