Pada tahun 2005, pemerintah Indonesia dan kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menandatangani Perjanjian Helsinki. Perjanjian ini memberi Aceh otonomi khusus, termasuk hak menerapkan syariat Islam yang dianggap sebagai upaya menjaga stabilitas masyarakat Aceh yang terdampak konflik bersenjata antara pemerintah Indonesia dan GAM pada tahun 1976-2005. Selain itu, kondisi demografis Aceh yang mayoritas beragama Islam juga mempengaruhi keputusan Indonesia untuk memberikan hak istimewa kepada Aceh dalam penerapan syariat Islam. Berdasarkan data persentase penduduk, 98,91% dari penduduk Aceh menganut agama Islam. Kurang dari 1% minoritas beragama Kristen (0,79%), Katolik (0,19%), Buddha (0,11%), dan Hindu (0,00%).
Penerapan syariat Islam di Aceh diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Undang-undang tersebut secara operasional dijabarkan dalam Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2002 tentang busana muslim/muslimah serta Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014, menyangkut tindak pidana khamar (minuman keras), maisir (perjudian), khawat (mesum) dan zina. Bagi masyarakat Aceh, penerapan syariat Islam bukan hanya soal hukum, tetapi juga dianggap sebagai cara untuk melestarikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari yang akan memperkuat identitas mereka sebagai komunitas muslim.