“Saya tidak akan pernah berhenti bekerja, bergerak, dan terus berjuang demi kemanusian!” ucap Dolorosa Sinaga setelah film “DOLO” selesai diputar pada program Special Screening dalam perhelatan ARKIPEL Twilight Zone – Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival, pada 28 November 2021 di Cinepolis Plaza Semanggi, Jakarta Selatan.
Ia berdiri dari kursinya saat Otty Widasari, Kepala Selektor ARKIPEL, datang memberikan bunga. Ia kemudian berjalan ke depan ruang pemutaran, tersenyum lebar meski wajah tidak lagi kencang, rambut memutih, dengan mata yang berkaca-kaca, ia menghadap ke kiri dan kanan, menerima salut dan tepuk tangan dari penonton. Ialah Dolorosa Sinaga, seniman patung, aktivis kemanusiaan, dan sosok yang menginisiasi sebuah ruang publik bagi seniman dan aktivis pada 1990-an untuk bertemu. Tokoh yang sedang dibingkai oleh film “DOLO”.
“DOLO” (2021) merupakan film dokumenter yang diproduksi oleh Forum Lenteng & Milisifilem Collective, disutradarai Hafiz Rancajale, seorang seniman, kurator, dan pendiri Forum Lenteng. Ia sebelumnya pula menyutradarai “Marah di Bumi Lambu” (2014), “Anak Sabiran: di Balik Cahaya Gemerlapan (Sang Arsip)” (2013), dan “Dongeng Rangkas” (2011). Selain itu, Hafiz merupakan salah satu “anak spiritual” dari Dolorosa Sinaga saat ruang di Garuda pada 1990-an yang dibangun oleh Dolorosa menjadi tempat berkumpulnya para seniman dan aktivis.
Beberapa pekan sebelumnya, film “DOLO” masuk dalam program Kompetisi Dokumenter Panjang Indonesia dalam gelaran Festival Film Dokumenter (FFD) 2021. Film ini berkompetisi dengan tiga film lainnya; “Invisible Hopes” (2021, Lamtiar Simorangkir), “Tale of Time” (2021, Agni Tirta), dan “The Enigma of Hedonism” (2020, Wimo Bayang).
Dalam film “DOLO”, Dolorosa Sinaga diperlihatkan dengan aktivitas kesehariannya, mengerjakan patung di studio, bermain piano, pertemuan daring, nongkrong di beranda, dan di sela-sela kegiatan tersebut Hafiz berbincang dengan Dolorosa. Beranda merupakan visual yang ditampilkan sangat panjang dan intens dalam film. Beranda yang besar dan panjang, disorot dari ujung kanan sampai ujung kiri dengan pelan, selain juga menampilkan sepanjang lorong dalam beranda tersebut. Di beranda itulah tempat para seniman dan aktivis pada 1990-an berkumpul dan menjadi tempat “pulang” bagi mereka. Di sana, mereka tidur dan makan, berdiskusi terkait seni, sosial, dan politik.
Bagian selanjutnya menampilkan orang-orang yang pernah beraktivitas di Beranda Garuda sebagai narasumber. Mereka berbicara tentang suasana dan iklim di sana. Para narasumber menjelaskan kondisi sosial dan politik pada tahun itu, yang menjadikan beranda tersebut penting pada masanya. Di antara para narasumber tersebut, ada Hilmar Farid, Ignatius Haryanto, Alexander Supartono, Farah Wardani, Iwan Simatupang, hingga Olin Monteiro. Dalam beberapa percakapan, Diskusi Bulan Purnama sering kali disebut sebagai salah satu pertemuan penting. Pertemuan tersebut diadakan setiap malam bulan purnama, dan menjadi tempat berkumpulnya para aktivis dan seniman, tua dan muda. Kita akan diajak membayangkan kursi dan meja panjang di beranda Garuda yang disorot secara intens tadi diisi oleh orang-orang yang diwawancarai oleh Hafiz. Orang-orang yang dikenal Hafiz di beranda itu.
Dolorosa tidak hanya direfleksikan lewat beranda yang ia inisiasi bersama suaminya Ardjuna Hutagalung dan cerita dari berbagai narasumber tadi, tetapi juga dari patung-patungnya. Bagaimana Dolorosa menyuarakan ketertindasan perempuan dan persoalan kemanusiaan dalam karya-karyanya, serta prestasi yang ia raih dalam kesenimanannya.
Ucapan Dolorosa pada bagian akhir film merupakan titik yang melebur apa yang sedang dibingkai “DOLO”. Pada bagian ini, Dolorosa mengatakan bahwa apa-apa yang telah dilalui di beranda itu bukan karena dirinya, tetapi karena kalian, ia menghadap kepada Hafiz. Hal itu menegaskan bahwa beranda itu tidak hanya soal dirinya, tetapi menjadi ruang publik yang berkontribusi pada persoalan sosial-politik di Indonesia, dan proses kreatif bagi mereka yang pernah ada dalam beranda tersebut.