Perhatian penonton di Amphiteater Taman Budaya Yogyakarta terpaku kepada seorang anak SMA dengan pembawaan tenang dan lugas. Diva Suukyi Larasati (17), putri almarhum Munir Said Thalib yang kini menempuh pendidikan di kelas 12 SMA berhasil menuntaskan pembuatan sebuah film animasi berjudul “Seandainya” di tahun 2019. Film tersebut ditarungkan dalam kompetisi kategori pelajar Festival Film Dokumenter 2019 di Taman Budaya Yogyakarta, Rabu (03/12/2019).
Diva Suukyi, cerminan generasi milenial yang berkarya untuk mengekspresikan perasaanya. “Menuntaskan film animasi ‘Seandainya’ saya mengandaikan sosok ayah saya, Munir Said Thalib, aktivis HAM yang telah pergi ke pangkuan Tuhan pada saat usia saya baru menginjak 2 tahun, tengah mengisi hari-hariku saat ini,” ungkapnya.
Menurut Diva Suukyi, orang-orang mungkin berekspektasi bahwa ia harusnya merasa sedih ketika ayahnya dibunuh atau merasa senang karena ayahnya kemudian dianggap sebagai pahlawan. “Tetapi saat ini saya hanya memiliki ekspresi kosong karena saya ditinggal sang ayah saat berumur 2 tahun,” jelasnya.
Judul ‘Seandainya’, dipilih oleh Diva Suukyi karena keinginannya sendiri dan untuk orang-orang sekitar. Judul itu sebagai gambaran jika Munir Said Thalib bisa hadir kira-kira apa yang ia rasakan. “Pelajari, semuanya akan sempurna seandainya beliau, Munir, aktivis HAM hadir disini menyempurnakan perasaan saya,” terangnya lirih.
Dirinya berusaha berekspresi tentang kangen dan cinta yang semula adalah sebuah tanda tanya besar di kepalanya untuk diwujudkan melalui film ‘Seandainya’.
“Meskipun saya harus menemui kesulitan untuk berekspresi antara saya harus bingung atau marah karena saya ditinggal ayah saat usia 2 tahun. Saya belum dapat membayangkan apa-apa pada saat itu. Saya ingin orang-orang mengetahui bahwasanya saya juga bisa bersuara bahwa kalian mengambil ayahku yang seharusnya berperan penting sebagai aktivis HAM,” paparnya.
Film dokumentas ini melambangkan apa yang diambil dari keluarga serta, untuk pesan pembunuh Munir. “Saya membuat film dokumenter ini bagi generasi muda dan generasi orang-orang yang tidak berani untuk advokasi,” jelasnya.
Advokasi tidak harus selalu tentang orasi di depan umum tetapi juga melalui simbolisasi seperti film dan awareness lainnya. Film animasi dokumenter sempat membuat dirinya geram lantaran proses pembuatannya sangat susah.
“Jadi animasi ini 966 frame/second saya harus buat secara manual sampai-sampai saya sendiri pegal melihatnya dan seolah-olah tidak akan bisa menggambar lagi rasanya,” katanya.
Beberapa waktu sebelum film ‘Seandainya’, animasi pertama dirinya yang frame-nya 1626/second hilang terhapus. Namun hal itu tidak membuat dirinya patah arang untuk melahirkan karya kedua ini.
“Ya itulah pasang surut yang saya alami saat proses membuat film animasi dokumenter. Saya mengambil animasi karena saya bisa memasukkan banyak simbolisasi, warna-warna perasaan saya dan perasaan keluarga saya,” terangnya.
Di situ juga terwakilkan orang-orang yang kehilangan sosok Munir Said Thalib. Baginya mencampur adukkan perasaan dalam bentuk simbolisasi animasi seperti warna biru, kuning, abu-abu, yang masing-masing merepresentasikan makna tersendiri. Ada juga foto Kamisan sebagai bagian dari visualisasi advokasi yang menunjukkan apa yang salah disini.
Peranan Keluarga dalam Proses Pembuatan Karya
Ibunda Diva selalu mendorong untuk melakukan sesuatu. Baginya keluarga sangat suportif terutama kakaknya. “Dia sebagai editor karya saya dan back-up line, changing warna juga. Ibu saya sebagai emotional support karena saya ini orangnya gampang stres. Tentu saja mengambil waktu satu bulan untuk pembuatan film animasi dokumenter ‘Seandainya’ ini banyak campur tangan dari keluarga saya,” paparnya.
Rasa Puas Setelah Berkarya
Dirinya merasa sangat puas karena frame 966 rampung dan bangga karena akhirnya dia bisa mengekspresikan apa yang dirasakan tentang ayahnya, Munir. (Fatony Royhan Darmawan/KRAcademy)