‘Sum’, Film Dokumenter eks-BTI Borong Penghargaan di Sodoc 2018

Alkisah, pada masa 1960-an Suminah adalah seorang perempuan muda anggota Barisan Tani Indonesia (BTI), sebuah organisasi underbouw PKI. Revolusi 1965 membawanya pada pengalaman yang tak bakal dilupakan seumur hidup. Sum muda, sekeluarga diburu oleh aparat.

Sum memilih nasib yang benar-benar pahit. Ia biarkan dirinya menjadi tumbal keluarga pasca-peristiwa G30S PKI. Ia membiarkan dirinya terseret pusaran peristiwa politik itu. Sedangkan ayah dan adiknya lolos.

Lantas, ia pun dipenjara selama 13 tahun, tanpa pengadilan. Usai bebas, lewat pertimbangan masak-masak, ia memilih hidup menyendiri dan tak mencampuri urusan keluarganya.

Hingga saat ini, ia terus menunggu berbaliknya realita zaman. Dari dunia yang terkadang penuh diskriminasi, menjadi dunia yang menerima dia apa adanya.

Ia petani, tetapi bukan pemilik lahan. Sehari-hari, Sum adalah buruh tani. Ketabahannya menjalani hidup yang penuh onak ini menjadi inspirasi untuk Firman Fajar Wiguna, pelajar anggota Brankas Film SMA Negeri 2 Purbalingga.

Kisah perjuangan penyintas 65 eks-BTI yang underbouw PKI ini lantas diangkat dalam film dokumenter berjudul “Sum”. Tanpa dinyana, film besutan pelajar yang kini duduk di kelas 3 ini menyabet dua penghargaan sekaligus di ajang Solo Documentary Film Festival (Sodoc) 2018.

Selain film terbaik kategori pelajar, film berdurasi 15 menit ini juga diganjar film favorit penonton. Penghargaan diterima saat malam penganugerahan pada Sabtu malam, 20 Oktober 2018 di Gedung Kethoprak Balekambang Surakarta.

Pembimbing Brankas Film, Bowo Leksono menjelaskan, kekuatan film ini terletak pada keberhasilannya mengorek keterangan penyintas 65 atau anggota atau simpatisan PKI yang biasanya cenderung menutupi masa lalunya. Kehidupan Suminah yang memprihatinkan juga menjadi realita yang berhasil direkam dengan baik oleh film ini.

Menurut dia, style atau gaya film dokumenter yang hanya menampilkan satu narasumber juga menjadi kekuatan lain film ini, dan menjadi warna baru film dokumenter di kalangan pelajar. Meski belakangan diketahui, narasumber tunggal ini tercipta secara tak sengaja.

Sebelumnya, sempat ada rencana untuk menampilkan narasumber pembanding, yakni Komandan Distrik Militer. Namun, saat itu, Dandim Purbalingga tak bersedia memberikan komentarnya di film ini.

“Hanya satu memang kan. Tidak ada pembandingnya untuk bisa membandingkan dengan narasumber ini. Kecuali satu sebenarnya, kalau Dandim bersedia mau ngomong, itu pembandingnya mungkin ya,” Bowo menjelaskan, Senin, 22 Oktober 2018.

Anggota dewan juri Sodoc 2018, Jason Iskandar, “Sum” menarik dan langka karena menawarkan warna atau gaya baru film dokumenter pelajar tentang memori seseorang yang memaparkan ingatannya kemudian di-capture oleh pembuat film.

“Film ini bergaya dokumenter esai yang mengangkat isu penting di Indonesia, terlebih ketika dibahas oleh pelajar,” dia menerangkan, dikutip dari keterangan tertulis CLC Purbalingga yang diterima Liputan6.com, Minggu (21/10/2018).

Sebelumnya, “Sum” sempat menyabet film dokumenter terbaik di ajang Festival Film Purbalingga (FFP) 2018 dan masuk nominasi dokumenter pelajar di Festival Film Kawal Harta Negara (FFKHN) 2018.

Secara keseluruhan ada 17 film dokumenter pelajar dari seluruh Indonesia yang bersaing dalam Sodoc 2018. Kemudian empat film terseleksi nominasi yang dinilai juri. Tiga juri kategori pelajar antara lain Jason Iskandar, Steve Pillar Setiabudi, dan Tomy Taslim.

Brankas Film memproduksi film “Sum” tanpa banyak campur tangan sekolah. Bahkan, pada masa awal penggarapan tim sempat diperingatkan oleh sekolah yang meminta agar siswa tak memproduksi film dengan tema yang lekat dengan PKI.

“Tidak menyangka akan dapat penghargaan film terbaik, ditambah film favorit pula. Penghargaan ini tentu didedikasikan bagi para penyintas tragedi ’65 yang tak pernah mendapat keadilan hingga saat ini,” kata sang Sutradara film “Sum”, Firman, yang berangkat ke Solo tanpa mengantongi izin pihak sekolah.