Hidup merdeka untuk mencintai siapapun adalah hak setiap manusia. Sayangnya, kebutuhan yang sepatutnya menjadi hak dasar ini ternyata merupakan sebuah privilege. Perihal orientasi seksual nyatanya masih menjadi permasalahan di beberapa organisasi maupun kelompok masyarakat di Indonesia. Hal ini menimbulkan pola pikir mengenai apa yang benar atau salah yang berimbas pada hal yang seharusnya menjadi ranah privat. ‘Teguh’ (2021) mengajak kita untuk menilik sebuah perlawanan terhadap norma kaku di salah satu instansi yang merasa citranya tak ingin dinodai.
‘Teguh’ (2021) menarasikan bagaimana perjuangan seorang eks-polisi yang diberhentikan secara tidak hormat karena orientasi seksualnya. Dengan dukungan penuh dari pasangannya, mereka memperjuangkan ketidakadilan yang menerpa Teguh hingga meja hijau. Namun, yang diperjuangkan oleh keduanya tidak bisa berlanjut karena faktor hierarki yang masih dianut oleh berbagai kalangan.
Filmmaker mengajak kita untuk mengikuti bagaimana kehidupan dua sejoli dengan humanis. Sebuah visual menunjukkan Teguh sedang memberi makan burung lovebird di dalam kandang yang kemudian diikuti dengan gambar burung tersebut menggigit dan berada di langit-langit kandang. Rangkaian gambar ini seolah mewakili bagaimana cinta keduanya tak cukup membebaskan mereka menuju kehidupan tanpa opresi dari instansi yang mengutamakan citra.
Film ‘Teguh’ arahan Riani Singgih (2021) bisa kalian tonton pada program Kompetisi Dokumenter Pendek di gelaran Festival Film Dokumenter 2022.