Terkesan dengan Kehidupan Tuna Netra, Wahyu Utami Sutradarai Film Dokumenter ‘The Unseen Words’

Terkesan dengan pengalaman melihat sebuah pertunjukan ketoprak, mendorong sang sutradara, Wahyu Utami untuk membuat sebuah film dokumenter.

Bukan pertunjukan ketoprak biasa, pada 2014 silam, Wahyu Utami terkesan dengan para lakon ketoprak yang seluruhnya adalah penyandang tunanetra.

Kelompok tersebut adalah Distra Budaya di bawah asuhan Badan Sosial Mardi Wuto.

“Waktu itu impresinya luar biasa melihat mereka. Saya yang bisa lihat, dihibur oleh mereka yang punya keterbatasan dalam melihat,” ungkap perempuan yang akrab disapa Uut ini.

Hal yang membuat Uut terkesan adalah humor yang dimasukkan dalam dialog-dialognya.

“Mereka memasukkan lelucon-lelucon dan itu menghibur saya,” kata Uut.

“Ada satu adegan Mbok Emban yang diminta melihat batik. Si Mbok Emban bilang, lha endi batike ra ketok peteng kabeh,” ujar Uut sambil tertawa.

Namun pada saat itu, dirinya belum terpikirkan untuk membuat film dokumenter.

Baru pada 2016 dirinya akhirnya memutuskan untuk membuat film dokumenter tersebut.

“Baru 2016 saya datang lagi ke mereka. Niat saya waktu itu untuk belajar saja. Belum berani buat film,” kata Uut.

Namun, satu dari anggota Distra Budaya, Hardjito pun mengubah niat Uut.

Mbok kami di-film-in, mbak, kata Pak Hardjito. Inisiatif justru muncul dari mereka. Ya sudah, lanjut, kami riset saja, gabung untuk belajar. Kami nggak janjikan apapun,” jelas Uut.

Setahun kemudian, Uut akhirnya membuat teaser dan proposal untuk memperoleh sokongan Danais.

“Ada Danais itu, kami bikin teaser sama proposal lalu bisa lolos,” tutur perempuan berkacamata ini.

Tantangan juga dihadapi Uut saat 5-6 bulan pertama proses pembuatan film.

“Lima, enam bulan pertama saya selalu sakit kepala tiap pulang ke rumah. Dari ngobrol dengan mereka saya selalu mikir, kok bisa mereka seperti itu dengan keterbatasan mereka,” kata Uut heran.

Namun akhirnya Uut berhasil menyesuaikan diri dan menyamakan sudut pandang dirinya dengan para anggota Distra Budaya.

Tak ada halangan berarti dalam proses pembuatan film dokumenter tersebut.