Bercerita tentang usaha dan ikhtiar kelompok kethoprak difabel netra Distra Budaya, film ‘Unseen Words’ diputar pada penutupan Festival Film Merdeka (15019/8) di pelataran Pasar Triwindu Ngarsopura. Film dokumenter pendek terbaik pada ajang Festival Film Indonesia 2017 berdurasi 27 menit yang disutradarai oleh Wahyu Utami menjadi film ketiga yang diputar malam itu selain tiga film pendek lainnya: ‘Amak’ karya Ella Angel, ‘Incanginceng’ besutan Kelik Sri Nugroho dan ‘Ruah’ karya Makbul Mubarak.
Sepinya pementasan tidak membuat surut semangat anggota Distra Budaya, yang didirikan sejak tahun 2002 sehingga tetap berlatih rutin. Hardjito, ketua Distra Budaya dan didukung oleh anggotanya memiliki ide cemerlang untuk membuat pementasan diunggah ke YouTube, supaya bisa dilihat oleh orang awam dan makin dikenal masyarakat luas. Ide Hardjiyo tersebut kemudian disampaikan kepada semua anggota, yang berjumlah 17 orang. Dengan berbagai upaya mereka membuat proposal, dari yang ditulis dengan huruf braille lalu dipindah ke huruf latin kemudian datang ke tempat jasa pengetikan.
Proposal kemudian diberikan kepada Badan Sosial Mardi Wuto dan disetujui, salah satunya adalah anggaran untuk penyewaan seperangkat alat gamelan seharga 1,5 juta. Setelah proposal disetujui, maka latihan kethoprak lebih intensif dan mulailah upaya mencari persewaan seperangkat gamelan. Digambarkan bagaimana tarik ulur harga sewa gamelan supaya mencapai sepakat. Para pemain berlatar belakang pekerjaan sebagian besar juru pijat yang sudah berumur rata-rata 40-50 tahun. Bahkan lebih memiliki kesenangan dengan kesenian kethoprak sejak kecil dan gemar mendengarkan lewat radio. Adegan-adegan lelucon yang natural muncul dalam percakapan sehari-hari.
Digambarkan dalam layar bagaimana upaya anggota kelompok Distra Budaya, singkatan dari disabilitas netra, sampai di tempat pelatihan mampu mengatasi kesulitan mobilitas. Namun, itu semua tidak menyurutkan semangat mereka untuk berkesenian, hingga kemudian tibalah pentas di sebuah halaman luas, dengan pengiring musik gamelan dan ditonton oleh masyarakat. Satu adegan akhir di film ini digambarkan bagaimana masyarakat luas bisa melihat pentas kethoprak Distra Budaya di YouTube dengan banyaknya penonton.
Dikutip dari harianmerapi.com, Wahyu Utami sang sutradara mengatakan bahwa ide pembuatan film dokumenter muncul dari realita titik-titik yang tidak terlihat (braille_red) namun digunakan oleh difabel netra untuk membaca. Melalui riset yang panjang pada tahun 2016, Wahyu Utami tertarik membuat film dokumenter tersebut. “Dari riset itu saya merasa terkesan dengan pertunjukan ketoprak yang tidak biasa, karena semua pemainnya adalah difabel netra. Waktu itu impresinya luar biasa melihat mereka. Saya merasa terhibur, dengan lelucon-lelucon yang ditampilkan,” kaya Wahyu Utami seperti dikutip harianmerapi.com. Latar belakang pertemuan dengan Hardjito, ketua kelompok yang ingin Distra Budaya difilmkan juga mendasari pembuatan film dokumenter ini.
Ditemui sebelum pemutaran film, Fanny Chotimah, Direktur Yayasan Kembang Gula, penyelenggara event Festival Film Merdeka mengatakan bahwa kegiatan pemutaran sembilan film yang sudah berlangsung menjadi program yayasan dan ini adalah tahun kedua. Mengambil isu toleransi, keberagaman dan menghargai perbedaan, acara yang diinisiasi oleh pegiat dan pekarya film di Solo diminati oleh masyarakat baik saat penutupan berlangsung dan empat hari sebelumnya di lima kelurahan Kota Solo. “Harapan kami adalah mendekati tunas-tunas muda bangsa di kampung-kampung dan karang taruna. Selain tertawa dan menghibur mereka kami berharap ada workshop yang kemudian diinisiasi oleh mereka dan kami men-support dengan menyuplai film-filmnya,”ungkap Fanny Chotimah.