Semenjak Snapchat memperkenalkan video pendek vertikal–format yang kemudian diadopsi oleh banyak platform media sosial–isu attention span semakin ramai dan penting dibicarakan. Manusia menjadi semakin terbiasa mengonsumsi konten berdurasi singkat; ini membuat kebosanan muncul lebih cepat. Namun, menariknya, total waktu yang dihabiskan di platform penyedia konten justru meningkat. Pengguna bisa menghabiskan waktu berjam-jam menonton konten di Youtube dan Tiktok. Binge-watching pun menjadi istilah yang tak lagi asing di telinga. Dalam jurnal The Political Economy of Attention (Pedersen, Albris, dan Seaver, 2021), atensi/perhatian memiliki kapasitas yang memungkinkan kita mengarahkan serta mengalihkan pikiran dan tubuh dari satu hal ke hal yang lainnya. Pada bulan Maret ini, filmdokumenter.id mengajak kita menyelami wajah-wajah atensi. Bagaimana atensi terbentuk, dan apa pengaruhnya terhadap kita sebagai konsumen?
Melalui DeathCrow48 (Samuel Paul Manurung, 2018), kita diajak melihat dinamika penggemar grup JKT48 serta relasi antara idola dan penggemar. Salah satu penggemar, Eric Crow, memberikan dukungannya melalui wotagei–sebuah tarian dan sorakan khas Jepang yang dilakukan dengan menggunakan light stick. Relasi antara idola dengan penggemar biasanya bersifat transaksional. Kendati demikian, melalui wotagei, Eric dan penggemar lainnya menunjukkan bahwa mereka tidak semata-mata mencari atensi/perhatian, tetapi juga memiliki kendali dalam mengarahkannya. Sebagai konsumen, mereka berperan dalam membentuk bagaimana atensi “idealnya” diberikan oleh seorang penggemar, penikmat, atau penonton.
Akan tetapi, bagaimana jika seorang penonton hadir bukan karena tertarik melainkan karena dibayar? Story Behind the Audience (Ardi Wilda Irawan, 2014) menelusuri fenomena penonton bayaran dalam industri hiburan televisi. Di era ketika televisi masih menjadi wahana hiburan masyarakat, rating program yang tinggi adalah kunci kesuksesan industri penyiaran. Di sinilah Harsono, seorang koordinator penonton bayaran, mengambil peran. Film ini mengungkap bagaimana attention economy dibentuk melalui imaji serta perilaku atensi yang dikonstruksi oleh kehadiran penonton bayaran.
Sementara itu, 240bpm++ (Bagas Oktariyan Ananta, 2019) mengangkat dampak atensi dalam fenomena konser musik. Seseorang bisa saja termotivasi oleh berbagai faktor–mulai dari musik yang dimainkan, sosok penampil, hingga kebersamaan yang tercipta di antara penonton. Pada dasarnya, musik mampu memicu fokus, yang lantas menghasilkan respon lanjutan dari pendengarnya. Film ini tidak hanya menampilkan aransemen musik remix, tetapi juga memperlihatkan dampaknya: Bagaimana musik memabukkan penikmatnya sekaligus meresahkan sebagian orang.
Ketiga film dalam program ini berupaya meneropong bagaimana atensi terbentuk, siapa agen-agen yang menciptakannya, serta bagaimana relasi timbal baliknya dalam konteks ekonomi, sosial, dan budaya. Di tengah gempuran media yang terus menuntut perhatian, evaluasi atas pengaruh atensi dalam diri kita sebagai konsumen menjadi mendesak–bukan sekadar untuk bertahan, tetapi juga untuk menavigasi masa depan dengan lebih bijak.