Kolonialisme itu memang sudah angkat kaki. Sayangnya pergulatan dan perjuangan hidup rakyat kecil di Lebak masih lestari.
Lorong di lingkungan RSUD Dr. Adjidarmo itu disusuri Arjan Onderdenwinjgaard. Pria Belanda berambut dan brengos putih itu sempat mencoba mengingat lagi tujuannya. Hingga tiba pada sebuah bangunan telantar di belakang rumah sakit berplat merah di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten.
Pandangan matanya ke mana-mana. Serasa sarat keprihatinan di dalam dada melihat sisa-sisa bekas tempat tinggal eks Asisten Residen Lebak, humanis cum penulis yang pernah menggemparkan negerinya sendiri, Eduard Douwes Dekker alias Multatuli.
‘Sret…sret…sret…’
Beberapa kali ia mencoba menyeka puing lantai keramik zaman modern yang sudah rompal dengan kakinya. la terhenti ketika sudah melihat apa di baliknya. Sisa-sisa ubin kuno yang ternyata sempat ditindih lapisan keramik era modern yang tentunya tak berasal dari zaman berkuasanya Bupati Lebak Adipati Karta Natanegara (periode 1830-1865).
Ubin motif persegi lima dengan kombinasi warna hitam dan putih. Setidaknya hanya itu yang tersisa dari bangunan lama tempat tinggal Multatuli, selain sebidang tembok setinggi kira-kira 6,5 meter yang menempel di bangunan zaman modern namun sudah mangkrak itu.
Setidaknya begitu sutradara Yogi D. Sumule membuka tirai dokumenter ‘Setelah Multatuli Pergi’. Film yang mengorbit dalam rangka memperingati 200 tahun kelahiran Multatuli. Sosok Belanda pertama yang melantangkan kesewenang-wenangan dan perselingkuhan kaum feodal di Lebak dan kolonialis negerinya lewat novel satir ‘Max Havelaar'(1860).
Maka tak heran alur cerita yang mengikuti perjalanan Arjan membawanya ke Museum Multatuli dekat Alun-Alun Rangkasbitung. Museum bertema antikolonial pertama di Indonesia yang baru diresmikan medio Februari 2018. Selain menengok narasi sejarah kolonial di dalamnya, Arjan juga lega melihat salah satu sumbangannya masih terpelihara, sebuah bekas ubin lama peninggalan rumah Multatuli yang menyisakan puing saat ia berkunjung pertamakali ke Lebak 32 tahun silam.
Beberapa plot ‘Setelah Multatuli Pergi’ juga kemudian berselip deretan footage lawas milik Arjan kala datang ke Lebak, awal 1987, secara bergantian dengan alur maju-mundur. Selebihnya, Arjan seolah melakoni napak tilas sebagaimana yang ia lakukan 32 tahun lalu, baik saat mengintip suasana pasar nan sibuk di Rangkasbitung, hingga perjalanannya yang menantang ke Desa Badur.
Kenapa Badur? Buat Arjan, ia merasa harus kembali ke desa terpencil di pedalaman Lebak yang aksesnya masih tak sedap itu. Alasan pertama, lantaran Desa Badur merupakan latar belakang salah satu petikan roman ‘Saidjah dan Adinda’ yang dikandung ‘Max Havelaar’.
Film yang digarap mulai awal 2019 itu diputar perdana di Museum Multatuli, Rangkasbitung, Lebak, Banten, Sabtu (7/3/2020) yang lalu. Bupati Lebak Hj. Iti Octavia Jayabaya turut hadir bersama puluhan tamu undangan dan penonton lainnya di pendopo museum. Setelah pemutaran perdananya, menurut rencana film ini bakal menjajal panggung festival di beberapa negara, termasuk Belanda mulai April mendatang.
Di Balik Layar
Tone dalam ‘Setelah Multatuli Pergi’ yang jernih cukup nyaman untuk asupan pandangan mata sepanjang durasi sekira 90 menit. Pun dengan iringan scoring yang minimalis nan pas, agar substansi yang ingin disampaikan dalam alur cerita tetap menonjol.
Untuk perjalanan Arjan di titimangsa 2019 narasinya mengombinasikan metode observatori dan ekspositori, di mana selain menyuguhkannya via aktivitas Arjan di Kota Rangkasbitung hingga Desa Badur, juga lewat wawancara beberapa tokoh terkait. Mulai dari sejarawan cum pemred Historia.id Bonnie Triyana, Kepala Museum Multatuli Ubaidillah Muchtar, hingga Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya yang notabene masih putri dari Bupati sebelumnya, Mulyadi Jayabaya.
Tak ketinggalan Arjan menyambangi beberapa tokoh arus bawah di Desa Badur, seperti H. Sapari yang mengaku sebagai keturunan Saidjah, hingga Jumar dan Rasti Guna. Menariknya, Jumar dan Rasti Guna pernah pula tertangkap mata kamera yang dibawa Arjan kala pertamakali menginjakkan kaki di Desa Badur 32 tahun lampau.
Makanya kala bersua, Arjan pun memperlihatkan lagi rekaman video lawas itu kepada Jumar dan Rasti. Dua sosok yang dianggapnya sebagai Saidjah dan Adinda “milik” Arjan. Dua sosok yang jadi serat inti Arjan mengisahkan narasi dalam dokumenter ini.
Bicara rekaman video lawasnya, Arjan bercerita bahwa video itu dibuat dalam rangka pekerjaannya sebagai wartawan lepas Katholieke Radio Omroep (KRO). Video yang akhirnya selama 32 tahun itu juga ia simpan dan baru pada 2019 digunakan untuk “bahan jahitan” film ‘Setelah Multatuli Pergi’.
“Untuk ukuran video lama, rekamannya masih baik ya. Waktu itu saya gunakan Camcorder Semi Pro Sony. Aslinya waktu saya ambil gambar 1987 itu ada enam tape. Ya, kira-kira durasinya sembilan jam. Tetapi hanya sekitar 15-20 menit yang dipakai di film ini. Tapi kemudian saya kecewa. Karena ketika saya tawarkan ke dua stasiun TV di Belanda, mereka menolak,” ujar Arjan kepada Historia.
“Saya kecewanya karena mereka menolak sebelum melihat isi videonya. Katanya kualitas teknisnya tidak baik karena saya hanya pakai camcorder. Padahal di zaman Orde Baru, tidak mungkin bisa dengan kru ke Indonesia dan syuting begitu tanpa izin dan tanpa diikuti agen pemerintah. Berarti itu semua syuting saya rahasia,” sambung pria yang juga sudah terlibat di 12 film Indonesia itu.
Yang Tercecer
Sederhananya, Arjan kembali ke Lebak setelah 32 tahun atau menjelang dua abad kelahiran Multatuli (2 Maret 1820), ibarat ingin membandingkan kehidupan rakyat Lebak. Mengulang yang dilakoninya pada 1987 kala ia napak tilas isi roman ‘Max Havelaar’, utamanya bab-bab tentang Hindia Belanda (kini Indonesia) di Rangkasbitung hingga Badur dalam rangka 100 tahun wafatnya Multatuli (19 Februari 1887).
Bahwa apa yang tercecer usai Multatuli pergi, pun kala Belanda angkat kaki dari Bumi Pertiwi, pergulatan hidup itu masih setia menemani. Utamanya bagi orang-orang kecil macam Jumar dan Rasti – Saidjah dan Adinda “milik” Arjan. Betapa pendidikan masih sulit dinikmati Jumar dan Rasti hingga berimbas pada masa depan mereka yang gampang ditebak – juga harus bergulat pedih.
“Yang saya alami pada 1987 dan 2019 adalah, bahwa tidak seorangpun peduli dengan rakyat Lebak. Semua fokus pada buku (Max Havelaar), berdebat ini fiksi atau fakta, ini mitos atau bukan. Di 1987 pun suasana yang saya bayangkan di ‘Max Havelaar’ tidak berubah. Saya masih bisa bayangkan Saidjah-Adinda hidup di sana,” tambah Arjan.
“Bedanya 2019 sudah ada rumah tembok, sebelumnya 1987 semua masih rumah panggung. Makanya saya kembali ke Badur dalam hal itu mewakili rakyat kecil Lebak. Bahwa sampai zaman ini keadaan tidak banyak berubah. Kekuasaan juga masih dikuasai kaum elit, seperti zamannya Multatuli,” tutur Arjan menyiratkan kritik.
Kritik sosial juga begitu terasa dalam ‘Setelah Multatuli Pergi’, kala Arjan menemui seorang seniman mural yang termarjinalkan. Padahal mural bergambar wajah Multatuli yang mengungkit kata-kata: “Apakah ketamakan pejabat terkait keluarga yang kuat”, begitu menyentil lantaran mengungkit relasi sensitif terkait garis keluarga dalam lingkar kekuasaan saat ini.
“Bahwa si pelukis mural itu antara enggak berani atau enggak sadar, bahwa karyanya itu perlawanan. Itu kritik yang kuat. Si pelukis, Jumar, sampai Rasti, memang tidak serta-merta nyambung terkait tulisan dan pesan ‘Max Havelaar’. Tapi apa yang terjadi pada mereka, perjuangan dan perlawanan itu masih begitu aktual karena terjadi di manapun di dunia ini,” papar Arjan.
“Kalau bisa menyesapi substansinya itu menyedihkan. Mereka mewakili rakyat kecil seperti yang ditulis Multatuli. Meski fiksi tapi cerita fiksi itu seperti ditulis Multatuli, menggambarkan kebenaran yang luas. Mungkin tidak hanya apa yang kita lihat tapi justru cara pikir orangnya. Cara mereka putus asa atau berjuang begitu kuat untuk bertahan hidup,” tandasnya.