Bahasa dokumenter yang fundamental sering berangkat dari narasi kecil yang sederhana dan tak terlihat. Namun, jika kita mencoba memberi jarak untuk menilik lebih dekat, hal yang awalnya terlihat biasa saja seperti rutinitas dan relasi rupanya mengandung ragam pergulatan personal dan sosial. Film-film di dalam program ini mengeksplor jalinan antara narasi kecil dengan narasi besar yang menyangkut posisi manusia dalam masyarakat dan lingkungannya. Di samping itu, pemilihan bentuk dokumenter juga menjadi aspek yang penting. Kelima film yang disajikan di sini menunjukkan kesadaran dan perhatian akan pengaruh bentuk dalam mengartikulasikan pesan di dalamnya.
The Unseen Words (Wahyu Utami, 2017), menghadirkan keseharian para tunanetra yang tergabung dalam suatu kelompok pementasan. Dengan gaya observasional, film ini mengikuti gerak-gerik subjek dengan sabar tanpa menghakimi. Kecemasan akan saingan dalam pekerjaan sebagai pemijat, kesenangan bernyanyi bersama, dan kesulitan mencari dukungan pementasan. Rekaman-rekaman tersebut dengan apa adanya memperlihatkan dan mengurai kompleksitas yang terkandung dalam keseharian manusia. If… (Diva Suukyi Larasati, 2019), adalah animasi singkat yang menggunakan bahasa visual sederhana untuk menggambarkan kilas balik anak yang kehilangan bapaknya–seorang aktivis HAM yang dibunuh. Animasi menjadi medium untuk mengimajinasikan hubungan anak-bapak serta keterasingannya.
Diaspora (Ivonne Kani, 2015) adalah sebuah diari yang mengumpulkan pengalaman pembuat film dan keluarganya sebagai etnis Tionghoa. Film ini secara intim menelusuri perjalanan dan silsilah keluarga lintas generasi dan negara yang memantik percakapan tentang pergulatan identitas khususnya pada generasi muda Tionghoa di Indonesia. Dengan gaya tutur observasional, The Crowded Bridge (David Darmadi, 2016) menyusun potret audiovisual sebuah jembatan yang kecil tapi padat dengan kegiatan warga. Menggunakan jembatan sebagai titik fokus, film ini mengamati bentuk dan ritme kegiatan sehari-hari yang secara sadar atau tidak sadar dibentuk oleh suatu tata kota.
Film terakhir, Children of Rapa’i Plok (Nursalliya Ansari B, 2017), mengadopsi teknik ekspositoris dalam menceritakan upaya sekelompok anak-anak untuk tetap bermain musik tradisional di kampungnya. Penggunaan ekspositoris di film ini terbilang unik karena mampu mendekat dengan subjeknya, memperlihatkan dinamika sosial dan persahabatan antar anak-anak. Jalinan narasi besar tentang musik tradisional dan narasi kecil persahabatan diracik dengan halus.
Kelima film dalam program ini mewakili upaya untuk menilik dokumenter yang berangkat dari narasi kecil, relasinya dengan narasi besar, serta ragam bentuk yang dipakai untuk mengolah relasi tersebut.